ERP Beratkan Ojol, Pemprov DKI Diminta Cari Cara Lain Tanggulangi Kemacetan Jakarta

Ia menilai kebijakan ERP hanya melahirkan diskriminasi karena jalan–jalan itu nantinya hanya bisa dilalui mereka yang mampu bayar.

oleh Liputan6.com diperbarui 03 Feb 2023, 21:37 WIB
Kendaraan melintasi gerbang Electronic Road Pricing (ERP) di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu (20/11/2019). DKI Jakarta akan mengimplementasikan konsep ERP mulai tahun 2020. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Dalam upaya mengurangi kemacetan lalu lintas di ibu kota, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berencana  menerapkan Electronic Road Pricing (ERP) atau kebijakan jalan berbayar di sejumlah ruas jalan Ibu Kota. Namun, penerapan ERP ini dinilai justru mengakibatkan polemik di antara para pengemudi angkutan online, baik taksi maupun ojek online.

Sekretaris Jenderal perkumpulan Armada Sewa Indonesia (PAS Indonesia), Wiwit Sudarsono, menyampaikan keberatannya atas kebijakan yang dikeluarkan Pemprov DKI Jakarta terkait rencana penerapan jalan berbayar atau ERP.

Penolakan OJOL ini didukung tokoh masyarakat yang juga pemerhati sosial sekaligus Ketua NU PC Jakpus, Saifuddin. Menurutnya, sebagai anggota masyarakat dirinya merasakan penolakan tersebut, bahkan keberatan itu dianggap wajar karena sangat merugikan pengemudi angkutan online.

"Saat ini Go car dan Grab sudah dirugikan dengan kebijakan ganjil genap, serta belum adanya penyesuaian tarif angkutan online terdampak kenaikan BBM (Bahan Bakar Minyak), sekarang akan dibatasi lagi dengan kebijakan jalan berbayar atau ERP," kata Syaifuddin yang juga pembina paguyuban pengemudi ojol GS-One dalam keterangannya, Jumat (3/2/2023).

Dengan adanya kebijakan tersebut, lanjut Syaifuddin, otomatis pendapatan para pengemudi angkutan online akan menurun drastis, karena berkurangnya pengguna transportasi online, baik ojek online maupun taksi online. Hingga bila pengguna tidak mau mengeluarkan biaya tambahan untuk jalan berbayar dan dibebankan kepada pengemudi, tentu hal itu akan mengurangi pendapatan ojol.

Untuk itu, Syaifuddin meminta agar kebijakan tersebut dibatalkan sekaligus memohon Pemprov DKI mau mencari cara lain untuk menanggulangi kemacetan di ibu kota.

"Atas dasar empati kepada segenap para pengemudi angkutan online, baik ojek online dan taksi online , tentunya saya mengharapkan agar Pemprov membatalkan kebijakan yang tidak populer tersebut, dan mencari cara lain untuk menanggulangi kemacetan di DKI," tandasnya.

Terdapat empat kriteria kawasan yang dapat diterapkan ERP, di antaranya memiliki tingkat kepadatan atau perbandingan volume lalu lintas kendaraan bermotor dengan kapasitas jalan pada salah satu jalur jalan sama dengan atau lebih besar dari 0,7 pada jam puncak/sibuk. Kedua, pada kawasan yang memiliki dua jalur jalan dan setiap jalur memiliki paling sedikit dua lajur.

Ketiga, pada kawasan yang hanya dapat dilalui kendaraan bermotor dengan kecepatan rata-rata kurang dari 30 km/jam pada jam puncak. Keempat atau terakhir, tersedia jaringan dan pelayanan angkutan umum dalam trayek yang sesuai dengan standar pelayanan minimal dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 


Memindahkan Kemacetan

Ketua NU PC Jakpus, Saifuddin yang juga pembina paguyuban pengemudi ojol GS-One. (Ist).

Respons Dishub

Pandangan yang sama disampaikan Pengamat Kebijakan Publik Amir Hamzah. Ia menilai kebijakan ERP hanya melahirkan diskriminasi karena jalan–jalan itu nantinya hanya bisa dilalui mereka yang mampu bayar. Orang yang tidak mampu bayar, tidak bisa melintas di jalan jalan umum . "Ini betul-betul diskriminasi ekonomi."

Padahal, lanjut Amir, jalan itu untuk publik, untuk umum bukan untuk orang kaya dan bukan pula untuk orang mampu.

Amir menambahkan, masyarakat pemilik kendaraan sudah membayar pajak, membayar kalau mengurus Surat Izin Mengemudi (SIM). Artinya mereka mempunyai hak untuk melintasi jalan – jalan yang dibangun dengan uang rakyat, pajak.

“Kenapa rakyat harus bayar lagi ketika melintas di jalan – jalan itu’,” tanya Amir.

Lebih lanjut, Amir menegaskan, pemberlakuan ERP untuk mengatasi macet bukan solusi yang tepat. Justru yang terjadi adalah memindahkan kemacetan saja.

Artinya pada ruas jalan tertentu yang tidak berlaku ERP akan terjadi kemacetan lebih parah karena menjadi muara pengemudi kendaraan yang menghindari jalur ERP.

Untuk itu, lanjut Amir, jangan menciptakan kebijakan yang hanya melahirkan ketidakadilan dan membuahkan diskriminasi.

Kepala Dinas Perhubungan atau Dishub DKI Jakarta Syafrin Liputo mengatakan, pihaknya akan mengikuti apa pun keputusan dari DPRD. Kini, aturan tersebut masih digodok di Komisi B DPRD DKI Jakarta.

“Tentu apa pun keputusan dari dewan, kami dari Pemprov DKI Jakarta tentu akan menindaklanjutinya,” kata Syafrin saat ditemui di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat, Minggu (29/1/2023).

Sebelumnya, Sejumlah pengemudi ojek online (ojol) melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung DPRD DKI Jakarta, Jakarta Pusat pada Rabu (25/1). Mereka menolak penerapan jalan berbayar di Ibu Kota atau electronic road pricing (ERP).

Secara bersamaan, Komisi B DPRD DKI Jakarta menggelar rapat dengan eksekutif terkait pembahasan ERP. Ketua Komisi B DPRD Ismail pun turun temui massa dan mengajak mereka untuk gabung dalam rapat.

"Jadi hari ini bertepatan dengan rencana rapat lanjutan pembahasan ERP, ada aspirasi dari masyarakat yang sebenarnya juga sudah diberitahukan kepada kami," kata Ismail setelah menemui para ojol.

Secara pribadi, Ismail pun menolak wacana penerapan ERP. Tak hanya itu, mewakili partai naungannya, PKS, Ismail menyebut bahwa partainya menolak ERP secara tegas.

"Sikap Fraksi PKS DPRD DKI Jakarta yang telah disampaikan beberapa hari lalu bahwa Fraksi PKS DPRD DKI Jakarta dengan tegas menolak (ERP). Mohon dukungan dari seluruh elemen masyarakat agar Fraksi PKS bisa memperjuangkan ini," ujar Ismail.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya