Liputan6.com, Beijing - Penghitungan kematian akibat COVID-19 resmi China dilaporkan hampir setengahnya dalam tujuh hari setelah libur Imlek atau Liburan Festival Musim Semi. Hal ini menunjukkan gelombang besar infeksi yang menyebar ke seluruh negeri dalam beberapa minggu terakhir mungkin telah mereda.
Chinese Center for Disease Control and Prevention atau Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China mengatakan pada Sabtu 4 Februari 2023, ada 3.278 kematian terkait dengan Virus Corona COVID-19 di rumah sakit di seluruh negeri antara 27 Januari dan 2 Februari.
Advertisement
Jumlah itu berkurang setengahnya jika dibandingkan dengan lebih dari 6.300 pada pekan sebelumnya. Dalam penghitungan tujuh hari terakhir, 131 orang meninggal karena gagal napas dan 3.147 dari penyakit lain yang mendasari tetapi terinfeksi COVID-19, kata Chinese Center for Disease Control and Prevention seperti dikutip dari South China Morning Post, Minggu (5/2/2023).
27 Januari adalah hari terakhir liburan Imlek atau Festival Musim Semi selama seminggu, ketika jutaan orang bepergian ke seluruh negeri untuk reuni keluarga.
Namun, jumlah sebenarnya bisa jauh lebih besar karena pejabat hanya menghitung orang yang meninggal di rumah sakit, mengabaikan kematian yang terjadi di rumah atau di fasilitas perawatan lansia. Tingkat kematian di negara lain saat mereka keluar dari kebijakan Nol-COVID menunjukkan total di China seharusnya lebih tinggi.
Pivot pandemi China pada awal Desember 2023 menyebabkan gelombang rekor yang menginfeksi puluhan juta orang setiap hari. Kepala ahli epidemiologi negara itu mengindikasikan bulan ini bahwa lebih dari 1,1 miliar orang telah terinfeksi sejak kontrol pembatasan COVID-19 dicabut.
Siap-Siap, China Akan Rilis Obat COVID-19 dengan Harga Murah
Bicara soal China, sebelumnya pemerintahnya telah menyetujui lagi dua jenis obat COVID-19 buatan dalam negeri. Harganya ditaksir lebih murah ketimbang obat buatan Pfizer.
Media pemerintah China menyebut dua obat tersebut sama efektifnya dengan Paxlovid buatan Pfizer, meski lebih murah.
Dilaporkan Global Times, Senin (30/1/2023), dua obat itu bernama Xiannuoxin dan VV116.
Xiaonnuoxin dibuat oleh kolaborasi Simcere Pharmaceutical Group dari Nanjing, Shanghai Institute of Materia Medica, Wuhan Institute of Virology dan Chinese Academy of Medical Sciences.
VV116 dibuat oleh Shanghai Vinnerna Biosciences dan institusi-institusi penelitian lainnya di Shanghai. Sebelum mendapat izin di China, obat tersebut sudah dipakai di Uzbekistan pada 2021.
Obat Xiannuoxin menarget proteinase 3CL yang membuat virus COVID-19 melakukan replika. Efek itu sama dengan Paxlovid.
Dua obat itu digunakan untuk pasien dewasa dengan gejala ringan hingga moderat. Berdasarkan percobaan Fase III, obat-obat tersebut bisa mengurangi virus di pasien hingga 96 persen, dibandingkan dengan obat placebo. Efek itu terlihat dalam lima hari setelah minum obat.
Belum diketahui harga obat tersebut, namun harganya lebih murah dari Paxlovid yang seharga 1.890 yuan per pack (Rp 4,1 juta).
Namun, Xiannuoxin tidak akan langsung dirilis secara massal. Obat-obat itu akan disalurkan secara luas melalui rumah sakit dan secara online.
Hingga 19 Januari 2023, China telah merestui 10 obat COVID-19 dari dalam negeri, meski ada yang izinnya masih bersifat kondisional.
Advertisement
COVID-19 Merajalela Picu China Kehabisan Peti Mati, Biaya Pemakaman Pun Mahal
Beberapa waktu sebelumnya, China sempat dilaporkan mengalami peningkatan kasus COVID-19. Hal itu berdampak pada tingkat kematian akibat Virus Corona yang juga melonjak.
BBC News yang dikutip Kamis (26/1/2023) melaporkan, daerah pedesaan di China bahkan kehabisan peti mati, dan mengalami biaya pemakaman yang meroket karena peningkatan pesat dalam kematian terkait COVID-19.
Seorang penduduk desa di Provinsi Shanxi, China mengatakan kepada BBC bahwa peti mati telah terjual habis di beberapa daerah dan pekerja industri pemakaman "menghasilkan sedikit uang" selama wabah COVID-19 saat ini.
Menurut World Health Organization (Organisasi Kesehatan Dunia), China, negara berpenduduk 1,4 miliar orang, telah melaporkan setidaknya 34.000 kematian akibat COVID-19 sejak dimulainya pandemi. Menurut Reuters pekan lalu, WHO menuduh China tidak melaporkan skala data saat ini.
Sementara Insider melaporkan pada Desember 2022, mengutip Airfinity, sebuah perusahaan data kesehatan, bahwa lebih dari 5.000 orang kemungkinan meninggal setiap hari akibat COVID-19 di China.
Di daerah pedesaan di negara itu, sulit untuk mengumpulkan data tentang COVID-19. BBC melaporkan bahwa saat ini tidak ada perkiraan resmi untuk jumlah kematian di pedesaan China, karena sebagian besar penduduk desa meninggal di rumah atau di klinik desa kecil.
Staf BBC yang mengunjungi Provinsi Shanxi di China melaporkan bahwa krematorium sibuk, rumah duka menghadapi kekurangan peti mati, dan kematian meningkat.
"Suatu hari seseorang akan mati, kemudian hari berikutnya orang lain. Sudah nonstop selama sebulan terakhir," kata seorang penduduk desa kepada BBC.
Korea Selatan Perpanjang Pembatasan Akses Masuk Turis China Sampai Akhir Februari 2023
Sementara itu, Korea Selatan mengatakan akan terus membatasi masuknya pelancong dari China hingga akhir Februari 2023 karena kekhawatiran penyebaran COVID-19 di negara itu. Terlebih setelah liburan Tahun Baru Imlek.
Korea Selatan pada awal Januari 2023 berhenti mengeluarkan sebagian besar visa jangka pendek di konsulatnya di China, dengan alasan kekhawatiran tentang lonjakan virus di Tiongkok.
Korea Selatan juga mewajibkan semua penumpang dari China, Hong Kong, dan Makau untuk menyerahkan bukti tes negatif yang diambil 48 jam sebelum kedatangan mereka dan melakukan tes lagi setelah tiba, seperti dikutip dari situs berita NST.com.my, Jumat (27/1/2023).
Langkah-langkah tersebut, yang awalnya diberlakukan pada Januari, mendorong China untuk membalas dengan menangguhkan aplikasi visa jangka pendek Korea Selatan, meningkatkan kekhawatiran tentang gangguan aktivitas bisnis di negara yang sangat bergantung pada ekspor ke China.
Otoritas kesehatan juga memutuskan untuk memperpanjang tindakan virus corona pada pelancong jangka pendek dari China selama satu bulan lagi.
Meskipun ada beberapa indikasi wabah COVID-19 di kota-kota besar China melambat, pejabat Korea Selatan tetap khawatir tentang kebangkitan virus setelah pertemuan besar-besaran dan perjalanan lintas negara selama liburan Tahun Baru Imlek yang berakhir minggu ini.
Para pejabat Korea Selatan selama pertemuan membuka kemungkinan pelonggaran pembatasan lebih awal jika situasi COVID-19 di China semakin membaik, kata Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan dalam sebuah pernyataan.
Advertisement