Liputan6.com, Jakarta - Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi Nasional, Fanny Tri Jambore Christanto, berharap pemerintah bisa mengambil tindakan terhadap perusahaan yang melakukan kegiatan tambang nikel di Pulau Obi.
“Langkah penegakan hukum ini ada di pemerintah. Kami telah sampaikan bahwa pencemaran dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pertambangan nikel harus segera diproses. Jika temuan pelanggaran telah nyata, sanksi mulai dari pemberhentian aktivitas dan pencabutan izin menjadi domain pemerintah untuk dilaksanakan,” tegas Rere, sapaan akrab Fanny Tri Jambore Christanto, Selasa (7/2).
Advertisement
Menurut dia, kasus kerusakan lingkungan akibat pertambangan nikel bukan pertama kalinya terjadi. Setidaknya, kata dia, ada beberapa ancaman dan dampak kerusakan lingkungan yang telah terjadi akibat pertambangan nikel selama ini.
Dari pemantauan dan riset panjang yang dilakukan Walhi, lanjut Rere, menunjukkan adanya daya rusak lingkungan yang besar pada rantai pasok industri nikel, munculnya ancaman kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan pejuang lingkungan yang tidak ingin tanahnya dirusak oleh pertambangan nikel.
“Dampak besar kepada kelompok rentan akibat industri nikel, serta pelanggaran hukum yang masih dilakukan oleh pelaku industri nikel dari hulu sampai hilir,” jelas dia.
Untuk Pulau Obi, kata dia, penelitian dari Universitas Khairun sebelumnya telah mengindikasikan temuan logam berat pada biota di Perairan Pulau Obi. Bahkan, ada 12 jenis ikan yang teridentifikasi mengandung logam berat nikel.
“Temuan ini telah dipublikasikan secara umum dan saya rasa pemerintah daerah dan pemerintah pusat telah mengetahui dampak-dampak pertambangan nikel. Semua laporan dan bahan catatan dari WALHI telah disampaikan baik secara umum melalui saluran media yang dimiliki WALHI maupun melalui pertemuan resmi (audiensi, dengar pendapat dan FGD). Sehingga, pilihan eksekusi kebijakannya sekarang ada di tangan mereka,” ungkapnya.
Selain itu, ia menyebut pengaduan terhadap ancaman dan dampak perluasan pertambangan nikel ini sudah dilakukan dalam berbagai forum audiensi dengan pemerintah. Bahkan, Kementrian ESDM mencatat adanya perluasan tambang nikel yang berada dalam kawasan hutan.
Pada tahun 2021, ungkap Rere, diperkirakan luasan konsesi Pertambangan nikel di Indonesia telah mencapai 999.587,66 hektar dimana 653.759,16 hektar diantaranya ditengarai ada dalam kawasan hutan. Pertambangan nikel di Indonesia bertambah luas pada 2022 dengan pemberian konsesi Pertambangan nikel menjadi 1.037.435,22 hektar dimana 765.237,07 hektar diantaranya berada dalam kawasan hutan.
“Perluasan pertambangan nikel terutama yang berada dalam kawasan hutan akan memperluas deforestasi di Indonesia dan justru akan menambah lepasan emisi gas rumah kaca ke atmosfer, alih-alih berusaha mereduksinya,” ucapnya.
Saat ini, Rere mengatakan Walhi Maluku Utara masih melakukan pendampingan kepada masyarakat di Pulau Obi yang terdampak kegiatan tambang nikel.
“Iya kawan-kawan Walhi Maluku Utara terus melakukan penelitian dan penguatan kesadaran pada level tapak,” katanya.
Sementara Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Zenzi Suhadi buka suara soal pertambangan nikel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Menurut dia, advokasi penambangan nikel di Pulau Obi ditangani langsung oleh Walhi daerah setempat.
“Itu teman-teman Walhi Maluku Utara yang dampingin. Secara nasional, Divisi Kampanye Walhi yang monitor,” kata Zenzi.
Ia menjelaskan cara kerja Walhi untuk melakukan pendampingan atau advokasi, di antaranya menerima mandat langsung dari masyarakat serta melihat ada proses pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan. Untuk kasus di Pulau Obi, ia menyebut Walhi daerah yang mendampingi karena paling dekat dengan lokasi itu dan memudahkan advokasi.
“Kalau ada request dari daerah misal untuk supervisi terhadap analisa, kampanye, advokasi nasional memang kita lakukan. Temen-temen daerah punya kapasitas untuk melakukan analisa,” pungkasnya.
DPR Awasi Pertambangan Nikel
Sebelumnya Anggota Komisi IX DPR RI, Irma Suryani Chaniago memastikan, dewan bakal DPR ikut mengawasi pertambangan nikel Harita dan industri kendaraan listrik di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Irma menyebut, dirinya akan mengirim surat kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah setempat soal tambang nikel ini.
“Kami akan mengawasi. Bahkan, saya akan menyurati Pemda (Gubernur dan bupati) dan akan saya tembuskan ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK, Siti Nurbaya) maupun Menteri ESDM (Arifin Tasrif) tentunya,” kata Irma.
Menurut dia, penduduk yang tinggal disitu harus pindah ke tempat yang jauh dari penambangan. Tentunya, kata dia, harus dilakukan atas kesadaran sendiri dengan fasilitas dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
“Pemerintah melalui pemerintah daerah mewajibkan perusahaan menyediakan rumah sakit untuk dipergunakan, baik masyarakat maupun para tenaga kerja,” ujarnya.
Advertisement