Liputan6.com, Jakarta Dalam penguasaan hutan, negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Hal tersebut disampaikan Pakar Hukum Kehutanan Sadino. Menurutnya, dalam wilayah tertentu ada hak yang telah dilekatkan atas tanah, seperti hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak-hak lainnya atas tanah. Sehingga negara wajib melindungi hak tanah tersebut.
Advertisement
"Merupakan hak konstitusional berdasarkan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Dalam penguasaan hutan, negara harus juga memperhatikan hak-hak tersebut," kata Sadino dikutip Selasa (7/2/2023).
Menurut Sadino, Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan memang belum mencakup norma tentang hak atas tanah yang lainnya yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, sehingga pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
"Penyelesaian hak atas tanah dilakukan dengan tahap inventarisasi dan identifikasi hak-hak pihak ketiga adalah pengumpulan data kepemilikan dan penguasaan atas tanah oleh orang perorang atau badan hukum yang sebagian atau seluruhnya berada di dalam kawasan hutan," katanya.
Sadino menjelaskan, hutan negara, dan Kawasan hutan negara, semestinya tidak dibebani hak atas tanah, maka jelas pengertian, negara harus memperhatikan hak atas tanah sebagai bentuk perlindungan hukum atas hak konstitusional warga negara.
"Hal ini tentu sesuai dengan asas hukum Presumptio Iustae Causa (Semua tindakan Pemerintah adalah sah dan benar kecuali dibuktikan sebaliknya melalui Pengadilan). Penegakan hukum terkait dengan hak atas tanah ya harus mengedepankan asas tersebut. Tidak benar hak atas tanah yang masuk kawasan hutan tapi malah sebaliknya kawasan hutan yang masuk dalam hak atas tanah menurut definisi kawasan hutan negara atau juga hutan negara jelas maknanya," tegas Sadino.
Urai Tumpang Tindih Kawasan Hutan, Perppu Cipta Kerja Siapkan Sanksi Administratif
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) turut mengatur soal tumpang tindih kawasan hutan.
Setiap perizinan yang terlanjur memasuki kawasan hutan diberi waktu 3 tahun untuk membenahi dan memenuhi persyaratan.
Pakar Hukum Kehutanan Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta Sadino menyatakan, permasalahan izin terkait bisnis perkebunan kelapa sawit merupakan permasalahan administrasi. Jika ada permasalahan izin, bukanlah merupakan tindak pidana dan tidak masuk dalam ruang lingkup perkara korupsi.
Hal ini diatur dalam Pasal 110A Perppu Cipta Kerja, dimana kegiatan usaha didalam kawasan hutan dan memiliki perizinan berusaha sebelum berlakunya kebijakan ini dan belum memenuhi, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat 3 tahun.
“Jika setelah lewat 3 tahun sejak berlakunya UU ini tidak menyelesaikan maka akan dikenai sanksi administratif, berupa, penghentian sementara kegiatan usaha, denda administratif, dan/atau pencabutan Perizinan Berusaha,” jelas Sadino dalam keterangan tertulis, Kamis (19/1/2022).
Menurut dia, pelaku usaha pelaku usaha masih diberikan waktu selama 3 tahun sejak UU Cipta Kerja dan Perppu Nomor 2 dikeluarkan, untuk menuntaskan administrasi pengurusan izin dan tidak masuk ruang lingkup tindak pidana korupsi.
"Sehingga permasalahan izin yang menjerat beberapa perusahaan seharusnya dikenakan sanksi administratif bukan sanksi pidana. Karena izin adalah otoritas pemberi izin dan termasuk dalam tindakan administrasi," tegas Sadino.
Sadino menambahkan, baik Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja menggunakan asas hukum ultimum remedium dan restoratif justice, mencakup kebun sawit di kawasan hutan. Juga, mensyaratkan adanya izin lokasi dan/atau izin usaha perkebunan yang sesuai tata ruang, baik itu IUP untuk korporasi, dan Surat Tanda Daftar-Budidaya (STD-B) untuk masyarakat maksimal 25 ha.
Advertisement
Izin Lokasi
Izin lokasi dan/atau IUP ini berbeda dengan Hak Atas Tanah. Sehingga model penyelesaiannya memerlukan verifikasi teknis dengan menggunakan sebelum ditunjuk kawasan hutan sesuai PP Nomor 23 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan setelah ditunjuk Kawasan hutan sesuai Pasal 25.
"Penguasaan hutan oleh negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional," terangnya.
Mantan Staf Ahli Menteri ATR/BPN, Ling Sodikin membenarkan, jika ada masalah kepemilikan antara tanah perkebunan atau kehutanan, lazimnya dilakukan penelitian ke lapangan oleh beberapa pihak. Termasuk Pemda, BPN, polisi kehutanan, kemudian dipaduserasikan dan diputuskan apakah diselesaikan sesuai perda atau dikeluarkan izin pelepasan.
“Jika kemudian diketahui memang perkebunan itu adalah area hutan, maka bisa dikenakan sanksi administratif,” kata Ling.
Ling menjelaskan, banyak masalah kehutanan akibat aturan yang tumpang tindih antara Peraturan Daerah (Perda) dan UU mengenai kawasan hutan, dan hal itu banyak terjadi di Riau dan Kalimantan Tengah.