Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) angkat suara soal merosotnya indeks persepsi korupsi (IPK) di Indonesia tahun 2022. Jokowi optimistis, merosotnya IPK tidak berpengaruh pada iklim investasi di Indonesia.
"Ya ini akan sudah kita rapatkan dua kali dan akan menjadi koreksi dari pemerintah untuk memperbaiki (IPK). Bahwa itu akan mempengaruhi investasi di Indonesia, saya rasa tidak," kata Jokowi di Istana Negara Jakarta, Selasa (7/2/2023).
Advertisement
Keyakinan Jokowi didasarkan pada perhitungan keuntungan yang dapat diperoleh investor. Dia menyebut, hal terpenting diperhatikan investor adalah Internal Rate Return atau IRR.
"Investor yang dihitung kan untungnya gede atau nggak gede. IRRnya berapa, biasanya seperti itu," jelas kepala negara.
Namun begitu, Jokowi tidak menampik jika ada sedikit dampak dari hasil IPK di Indonesia yang merosot. "Tapi bahwa itu sedikit mempengaruhi, iya," dia menutup.
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2022 Merosot
Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2022 turun empat poin menjadi 34 dari sebelumnya 38. Dengan raihan tersebut, Indonesia berada di posisi 110 dari 180 negara yang disurvei.
Diketahui, skor IPK mulai dari 0 hingga 100. Angka 0 artinya sangat korup, sementara 100 sangat bersih. Pada 2021, skor IPK Indonesia adalah 38 dengan peringkat 96.
"Corruption Perception Index Indonesia pada 2022 berada pada skor 34 dari skala 100 dan berada di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini turun empat poin dari tahun 2021 dan merupakan penurunan paling drastis sejak 1995," ujar Deputi Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko dalam keterangan pers, Selasa (31/1/2023).
Kalah dari Timor Leste
TII merilis IPK Indonesia 2022 mengacu pada delapan sumber data dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik pada 180 negara dan teritori.
Di Asia Tenggara, Singapura menjadi negara yang dinilai paling tidak korup dengan skor 83, diikuti Malaysia dengan skor 47, Timor Leste 42, Vietnam 42, Thailand 36, Indonesia 34, Filipina 33, Laos 31, Kamboja 24, dan Myanmar 23.
Sedangkan di tingkat global, Denmark menduduki peringkat pertama dengan IPK 90, diikuti Finlandia dan Selandia Baru dengan skor 87, Norwegia 84, Singapura dan Swedia 83, serta Swiss 82. Sementara posisi terendah ada Somalia dengan skor 12, Suriah dan Sudan Selatan 13, serta Venezuela 14.
"Dalam indeks kami tampak negara dengan demokrasi yang baik rata-rata skor IPK 70 dibandingkan negara yang cenderung otoriter maka tingkat korupsinya rata-rata 26," kata Wawan.
Wawan menyebut ada tiga data yang mendorong penurunan skor IPK Indonesia tersebut, yaitu Political Risk Service (PRS) International Country Risk Guide (korupsi dalam sistem politik, pembayaran khusus dan suap ekspor impor dan hubungan mencurigakan antara politikus dan pebisnis) turun menjadi 35 dari 48 pada 2021.
Selanjutnya, IMD World Competitiveness Yearbook (suap dan korupsi dalam sistem politik) turun lima poin dari 44 menjadi 39, serta indeks Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Asia Risk Guide turun menjadi 29 dari 32.
Sementara tiga indeks yang stagnan adalah Global Insight Country Risk Ratings (risiko individu/perusahaan dalam menghadapi praktik korupsi dan suap untuk menjalankan bisnis) pada angka 47, Bertelsmann Foundation Transformation Index (pemberian hukuman pada pejabat publik yang menyalahgunakan kewenangan dan pemerintah mengendalikan korupsi) pada skor 33.
Kemudian Economist Intelligence Unit Country Ratings (prosedur yang jelas dan akuntabilitas dana publik, penyalahgunaan pada sumber daya publik, profesionalisme aparatur sipil, audit independen) tetap pada skor 37.
Advertisement
Kemudahan Berinvestasi Jadi Tantangan Besar
Selanjutnya ada dua indeks yang naik, yaitu World Justice Project-Rule of Law Index (pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif, kepolisian, dan militer menggunakan kewenangannya untuk keuntungan pribadi) skornya naik satu menjadi 24 dari 23, dan Varieties of Democracy (kedalaman korupsi politik, korupsi politik di eksekutif, legislatif dan yudikatif, korupsi di birokrasi, korupsi besar dan kecil yang memengaruhi kebijakan publik) naik dua poin menjadi 24 dari 22.
Namun indeks yang naik satu atau dua poin berpengaruh tidak besar dibandingkan dengan Political Risk Service (PRS) yang turun 13 poin sehingga turut menyumbang penurunan CPI dari 38 ke 34.
"Saat ini jadi PR besar untuk pemerintah, pelaku usaha, masyarakat sipil, bagaimana menjaga PRS ini pada angka yang maksimal, sedangkan perubahan pada angka World Justice Project dan Varieties of Democracy juga tidak sedemikian rupa sehingga harus melakukan perubahan mendasar," kata Wawan.
Wawan menyebut berdasarkan analisis TII, indikator ekonomi mengalami tantangan besar antara profesionalitas perusahaan dalam menerapkan sistem antikorupsi dengan kebijakan negara yang melonggarkan kemudahan berinvestasi.
"Negara berkembang mau pilih investor dari negara yang seperti apa? Apakah dari negara dengan standar antikorupsi tinggi atau yang penting pertumbuhan ekonomi jalan?," ungkap Wawan.
Analisis lain adalah dari sisi indikator politik, tidak terjadi perubahan signifikan karena korupsi politik masih marak ditemukan. Jenis korupsi suap, gratifikasi hingga konflik kepentingan antara politisi, pejabat publik dan pelaku usaha masih lazim terjadi.
"Pelaku usaha yang datang ke Indonesia bukan hanya memiliki risiko berbentuk untung rugi, tetapi juga risiko politik," ucap dia.
Selanjutnya indikator penegakan hukum menunjukkan kebijakan antikorupsi terbukti belum efektif dalam mencegah dan memberantas korupsi.
"Masih ditemukannya praktik korupsi di lembaga penegakan hukum karena pada 2022 kita dipertontonkan begitu banyak korupsi di lembaga penegakan hukum," Wawan memungkasi.