4 Mitos Kusta yang Masih Melekat di Indonesia, Cek Faktanya

Dunia baru saja memperingati Hari Kusta Sedunia pada 29 Januari 2023. Di tahun ini, tema yang diangkat adalah "Act Now" atau "Bertindak Sekarang".

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 08 Feb 2023, 13:30 WIB
Petugas sedang memeriksa pasien diduga kusta di Dusun Pondok Asem Jengkok, Indramayu, Jawa Barat, Selasa (5/7/2022).

Liputan6.com, Jakarta Dunia baru saja memperingati Hari Kusta Sedunia pada 29 Januari 2023. Di tahun ini, tema yang diangkat adalah  "Act Now" atau "Bertindak Sekarang".

Hari Kusta Sedunia yang diperingati setiap hari Minggu terakhir bulan Januari dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang penyakit ini. Dan menyerukan kepada setiap orang untuk menghormati martabat orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK). Mengingat, mereka pun punya hak dan kesempatan yang sama dengan warga masyarakat lainnya.

Kesadaran dan pengetahuan soal penyakit kusta perlu terus ditanamkan lantaran masih ada mitos soal kusta yang menyebar di masyarakat. Empat mitos soal kusta yang masih terjadi di beberapa daerah adalah:

- Kusta adalah penyakit kutukan dan turun temurun

Faktanya, kusta disebabkan oleh infeksi bakteri mycobacterium leprae. Artinya, dapat dijelaskan secara medis dan bukan merupakan kutukan.

- Mudah menular

Faktanya, kusta tidak akan mudah menular kecuali jika melakukan kontak berulang dengan penyandangnya. Banyak yang percaya bahwa kusta dapat menular dengan mudah karena penyebarannya bisa melalui udara, tetapi itu salah besar.

Seseorang baru akan tertular kusta jika terbukti melakukan kontak langsung yang berulang dengan pengidap seperti penggunaan pakaian atau handuk bersama.

- Tidak dapat disembuhkan

Faktanya, pengidap kusta dapat sembuh secara total jika mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat. Dengan terapi multiobat (Multi Drug Therapy/MDT) dan diawasi langsung oleh dokter, kusta dapat disembuhkan secara total tanpa ada disabilitas.


Mitos Lainnya

Mitos keempat tentang kusta adalah:

- Tidak menimbulkan komplikasi serius

Faktanya, kusta yang tidak segera ditangani dapat memicu beberapa komplikasi serius, termasuk kerusakan organ.

Jika tidak ditangani dengan segera, pasien akan berisiko besar mengalami komplikasi kesehatan yang serius seperti kerusakan saraf, kemunduran fungsi penglihatan, hingga disabilitas fisik di beberapa bagian tubuh.

Dari penjelasan di atas, simpulan yang dapat diambil adalah bahwa stigma yang masih terus melekat kepada OYPMK sama sekali tidak berdasar.

Mereka bukan lagi pasien, mereka telah sembuh total. Yang masih berstatus pasien pun tidak perlu dijauhi dengan semena-mena karena justru dapat menghambat upaya penyembuhan.


Perlu Dukungan Orang Sekitar

Wakil Ketua Perhimpunan Mandiri Kusta Nasional, Al Qadri menyampaikan bahwa proses pengobatan kusta membutuhkan waktu lama, 6-12 bulan.

“Untuk itulah mereka perlu dukungan orang-orang di sekitar, misalnya dengan mengingatkan untuk tidak lupa mengonsumsi obat setiap hari,” kata Al Qadri mengutip keterangan pers Kementerian Sosial, Rabu (8/2/2023).

Al Qadri yang juga OYPMK berkisah, semasa menjadi pasien berpuluh tahun yang lalu, dia tetap tinggal serumah dengan keluarganya. Makan bersama mereka dan tidur sekamar dengan adik-adiknya.

Namun, tak seorang pun dari mereka yang tertular. Kedua anaknya pun, yang kini telah dewasa, tidak mengidap kusta meski lahir dari ayah dan ibu yang merupakan OYPMK.

“Oleh karena itu, mari hapus berbagai stigma yang selama ini terlanjur kita lekatkan pada penyandang kusta meski penyakit itu sendiri telah lenyap dari mereka,” katanya.

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas. (Liputan6.com/Triyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya