Liputan6.com, Jakarta - Edukasi seputar menjaga keberlanjutan lingkungan dengan membangun kesadaran publik memang masih harus ditingkatkan. Namun, dalam beberapa waktu belakangan, publik dianggap sudah lebih sadar akan masalah sampah, sebut Dr. Lina Tri Mugi Astuti, SE., MM dari Sekolah Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia.
Sayangnya, tingkat kesadaran ini belum sejalan dengan praktik berdampak nyata pada kelestarian lingkungan, termasuk dalam hal pengelolaan sampah. "Berdasarkan pengamatan saya, kesadarannya (mengelola sampah mandiri) itu sudah sampai 80 persen, tapi praktiknya baru sekitar 30 persen," sebutnya dalam sesi media coaching di bilangan Jakarta Pusat, Rabu, 8 Februari 2023.
Baca Juga
Advertisement
Ini didukung data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang dikutip General Manager Indonesia Packaging Recovery Organization (IPRO), Zul Martini Indrawati. Ia menjelaskan bahwa volume sampah nasional pada 2021 mencapai 68,5 juta ton, dan bertambah jadi 70 juta ton pada 2022.
"17 persen di antaranya (volume sampah nasional) sampah plastik," sebutnya di kesempatan yang sama. "Sementara, tingkat daur ulang plastik kurang dari 10 persen."
Menurut Martini, cara mendorong praktik pengelolaan sampah yang bertanggung jawab harus didorong bersama. Salah satunya, sebut dia, dengan menggodok formulasi yang memicu keingintahuan publik terhadap isu lingkungan.
Ia berkata, "Bisa dengan story telling keberhasilan satu komunitas atau satu keluarga. Harus ada role model yang kuat, supaya orang lain bisa terpicu melakukan hal yang sama (dalam mengelola sampah secara bertanggung jawab)."
Konsep Baru TPA
Tidak hanya publik, produsen juga telah didorong mengolah sampah kemasan produk pascakonsumsi mereka. Terkait ini, Director of Corporate Responsibility L'Oreal Indonesia, Mohamad Fikri, menyebut bahwa praktiknya merujuk pada Peraturan Menteri LHK Nomor P.75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.
Dalam praktiknya, IPRO menawarkan layanan pengumpulan dan daur ulang sampah kemasan. "Perusahaan sebenarnya bisa melakukan (pengumpulan dan daur ulang) sendiri, tapi secara cost bisa lebih mahal dari produksi utama mereka," kata Martini.
Sekarang, menurutnya, sejumlah perusahaan masih jalan sendiri-sendiri dalam upaya mendaur ulang sampah kemasan pascakonsumsi mereka. "Ke depan, saya berharap perusahaan-perusahaan ini bisa berkumpul guna meningkatkan pengumpulan (sampah kemasan)," ucapnya. "Jika dilakukan bersama, hasilnya bisa lebih banyak dan terorganisir."
Mendukung itu, Lina menyebut bahwa sudah saatnya merumuskan konsep baru tempat pembuangan akhir (TPA) yang lebih berfokus pada pengolahan sampah. "Jangan sampai anggaran sampah di daerah hanya habis untuk transportasi seperti yang terjadi sekarang. Itu tidak menyelesaikan masalah," tuturnya.
Advertisement
Kampanye Keberlanjutan
Dalam estafet upaya pengelolaan sampah, L'Oreal telah bekerja sama dengan IPRO sejak tahun lalu. "Kami sekarang sudah bekerja sama dengan 15 perusahaan multinasional, termasuk L'Oreal," kata Martini.
Selain, raksasa produk kecantikan itu juga memiliki kampanye keberlanjutan mereka sendiri, "L’Oreal for the future." Program ini memuat serangkaian ambisi terbaru grup dalam ranah keberlanjutan untuk tahun 2030.
Ini termasuk pada 2025, semua gerai L'Oreal akan mencapai netralitas karbon dengan meningkatkan efisiensi energi dan menggunakan 100 persen energi terbarukan. Lalu, pada 2030, 100 persen plastik yang digunakan dalam kemasan produk L'Oreal akan berasal dari sumber daur ulang atau berbasis bio.
Pada 2030, L'Oreal akan mengurangi seluruh emisi gas rumah kacanya sebesar 50 persen per produk jadi, dibandingkan pada 2016. Fikri berkata, "Ada tiga praktik kunci yang kami lakukan, yakni mentransformasi, memberdayakan, dan berkontribusi."
Transformasi ini, ia menyebut, khususnya bertitik berat pada produk, mulai dari produksi hingga distribusi yang diklaim minim sampah dan jejak karbon.
Melibatkan Pelanggan
"Pengurangan material kemasan, misalnya," tutur Fikri. "Kami sudah tidak menggunakan multilayer plastic. Mengganti bahan plastik jadi kertas yang lebih mudah didaur ulang. Di butik-butik kami seperti Kiehl's juga mulai menyediakan layanan refill, serta memastikan semua kemasan produk kami itu bisa didaur ulang."
Melalui Garnier Green Beauty, pihaknya juga berkomitmen menjelaskan profil sosial dan lingkungan dari produk-produk mereka melalui sistem label dampak. "Jadi, ada yang nilainya A, B, C, semua dituliskan secara jelas. Produk yang skornya kurang bagus pun tetap diinformasikan ke pelanggan," klaimnya.
Sementara di poin memberdayakan, mereka mendorong keterlibatan pelanggan untuk memilah sampah kemasan pascakonsumsi secara online, yakni melalui aplikasi e-Recycle dan offline lewat drop box di sejumlah gerai produk mereka di wilayah Jakarta.
"Pelanggan di area Jabodetabek bisa request sampah kemasan mereka untuk dijemput. Sekarang memang belum ada minimal (jumlah sampah yang dijemput), tapi kami selalu mendorong pelanggan untuk setidaknya mengumpulkan (sampah kemasan) 2--3 kilogram supaya secara emisi juga tidak besar," katanya.
Kontribusi mereka salah satunya dilakukan melalui kerja sama dengan IPRO. "Berdasarkan peta kemasan plastik L'Oreal Indonesia, kami berkomitmen mengurangi 76 persen plastik virgin dan 26 persen pengumpulan sampah pada 2025," tutupnya.
Advertisement