Pakai Masker di Pesawat Maskapai Penerbangan Jepang Tak Akan Diwajibkan

Aturan pakai masker jadi opsional di pesawat maskapai penerbangan Jepang akan mulai berlaku pada Mei 2023.

oleh Asnida Riani diperbarui 10 Feb 2023, 08:03 WIB
Ilustrasi penggunaan masker di pesawat maskapai penerbangan jepang jadi opsional. (Sumber foto: Pexels.com).

Liputan6.com, Jakarta - Sekelompok maskapai penerbangan di Jepang, termasuk Japan Airlines dan All Nippon Airways, berencana menjadikan pemakaian masker sebagai "pilihan pribadi" para penumpang pesawat. Sejalan dengan pelonggaran aturan COVID-19 yang direncanakan pemerintah Jepang, aturan tersebut akan mulai berlaku pada Mei 2023.

Mengutip Japan Today, Kamis, 9 Februari 2023, langkah ini dilakukan karena banyak operator penerbangan di negara-negara Barat telah mencabut persyaratan masker mereka tahun lalu, menjadikannya sebagai opsional.

Di bawah pedoman Asosiasi Maskapai Penerbangan Terjadwal Jepang saat ini, yang terdiri dari 19 maskapai penerbangan, penumpang selain bayi diminta memakai masker dan sebisa mungkin menahan diri untuk tidak berbicara satu sama lain saat berada di pesawat.

Jika penumpang memiliki penyakit atau kondisi tertentu yang membuat mereka tidak dapat memakai masker, mereka diminta  berkonsultasi terlebih dahulu dengan maskapai penerbangan. Bila penumpang menolak memakai masker tanpa alasan yang dapat dibenarkan, maskapai penerbangan dapat melarangnya naik pesawat.

Kelompok industri mengumumkan bahwa perubahan kebijakan ini menyusul keputusan pemerintah Jepang bulan lalu untuk menurunkan peringkat COVID-19 ke kategori yang sama dengan flu musiman mulai 8 Mei 2023.

Terkait pemakaian masker jadi opsional bagi penumpang pesawat, pakar penyakit menular mencatat bahwa standar ventilasi untuk pesawat tinggi, dan tidak ada klaster COVID-19 utama yang berasal dari penerbangan selama ini, lapor CNA."Bepergian dengan pesawat komersial jauh lebih aman daripada yang dipikirkan orang," kata Profesor Dale Fisher, konsultan senior di Divisi Penyakit Menular Rumah Sakit Universitas Nasional Singapura.


Tidak Ada Penemuan Klaster Besar COVID-19

Ilustrasi kabin pesawat terbang. (dok. pexels.com/Sourav)

Udara di pesawat berubah setiap tiga menit, kata Fisher. Sekitar 60 persen udara yang memasuki kabin benar-benar segar dan dari luar, sementara 40 persen lain melewati HEPA tingkat rumah sakit, atau filter udara partikulat efisiensi tinggi yang menghilangkan 99,97 persen partikel di udara.

"Inilah mengapa tidak ada klaster besar (COVID-19) di pesawat. Hampir tidak mungkin partikel COVID-19 melayang di pesawat. Jadi, saya pikir masuk akal untuk tidak memakai masker, kecuali jika Anda memiliki infeksi pernapasan," sambungnya.

Penumpang juga melepas masker saat makan dan minum di pesawat. Dengan tidak memakai masker selama penerbangan dan kadang-kadang melepasnya, mereka akan mengekspos diri mereka ke orang-orang di sekitar selama periode itu, kata Fisher, yang juga Profesor Kedokteran di Fakultas Kedokteran NUS Yong Loo Lin.

Pakar penyakit menular lain, Dr Leong Hoe Nam, mengatakan filter HEPA memang "sebagus yang diharapkan." Namun ia mengatakan bahwa penularan masih bisa terjadi "tiga baris di depan dan di belakang tempat duduk Anda."

 


Tingkat Risiko Tertular

Ilustrasi suasana kabin pesawat yang penuh penumpang. (dok. Pexels/Dinny Mutiah)

Pada CNA, Nam berkata, "Mengingat penumpang duduk berdekatan di dalam kabin, ini tidak memberikan banyak kenyamanan. Pasien kelas bisnis dan kelas satu juga akan terpapar. Yang Anda butuhkan hanyalah satu orang terinfeksi."

Demi tetap sehat saat berlibur, ia menyarankan para pelancong untuk tetap memakai masker di penerbangan, meski itu opsional. Setiap individu punya tingkat risiko berbeda untuk tertural COVID-19, dan ini dapat memengaruhi keputusan mereka mengenakan masker dalam penerbangan, kata para ahli.

Misalnya, mereka yang lebih muda atau baru saja pulih dari COVID-19 "mungkin berani melakukannya," kata Dr Leong. Namun, beberapa laporan menunjukkan bahwa orang dapat tertular COVID-19 lagi paling cepat 17 hari setelah infeksi sebelumnya, katanya.

Mereka yang lebih rentan mungkin memilih memakai masker jika kekebalannya buruk, kata Dr Leong. Ini dapat mencakup pasien transplantasi yang menggunakan berbagai obat imunosupresif, penderita kanker, atau jika mereka kembali ke rumah untuk anggota keluarga yang berisiko lebih tinggi.

 


Kondisi Tertentu

Ilustrasi kabin pesawat. (dok. unsplash.com/angelacompagnone)

Profesor Paul Tambyah, presiden Perhimpunan Mikrobiologi Klinis dan Infeksi Asia Pasifik, menganjurkan agar para pelancong melakukan "apa pun yang nyaman bagi mereka." "Bagi orang-orang yang sistem imunnya lemah atau yang belum pernah terinfeksi sebelumnya, mungkin sebaiknya memakai masker selama penerbangan meski ini mungkin tidak nyaman," sebutnya.

Ia menyambung, "Bagi mereka yang divaksinasi empat kali dan sebelumnya terinfeksi, risiko penyakit parah sangat rendah, jadi terserah mereka." Prof Fisher setuju bahwa orang yang divaksinasi berisiko sangat rendah terkena penyakit parah.

Jika seseorang yang duduk di dekatnya memiliki gejala, pelancong dapat memilih memakai masker, tambahnya. Alangkah baiknya juga jika awak kabin dapat meminta penumpang yang memiliki gejala untuk memakai masker.

"Tentu saja, masuk akal untuk mendorong pemakaian masker saat Anda tidak bisa menjaga jarak dan Anda sangat rentan. Tapi, itu bukan karena mereka berada di pesawat," kata Prof Fisher, menekankan lagi bahwa ventilasi di pesawat komersial terbilang unggul "hampir di semua aspek pendukung."

Infografis Kombinasi Vaksin Covid-19 untuk Booster II. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya