Peredaran Obat Inovatif di Indonesia Rendah, Apa Kendalanya?

Kajian Pharmaceutical Research and Manufacturers of America (PhRMA) menunjukkan hanya ada sekitar 9 persen obat inovatif atau obat temuan baru yang beredar di Indonesia.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 10 Feb 2023, 06:00 WIB
Ilustrasi Obat-obatan Credit: unsplash.com/Sharon

Liputan6.com, Jakarta Kajian Pharmaceutical Research and Manufacturers of America (PhRMA) menunjukkan hanya ada sekitar sembilan persen obat inovatif atau obat temuan baru yang beredar di Indonesia.

Hal ini menempatkan Indonesia pada peringkat terendah, di bawah Afrika Selatan jika dibandingkan dengan negara Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, peringkat Indonesia sama dengan Vietnam. Namun, Indonesia tertinggal oleh Filipina, Malaysia, Thailand dan Singapura.

Terkait hal ini, Asosiasi Untuk Studi Obat Indonesia (IASMED) menyatakan perlunya penguatan regulasi untuk memastikan Indonesia dapat mengejar ketertinggalan dalam ketersediaan obat yang berpotensi menyelamatkan pasien.

Salah satu penyebab kurangnya obat-obatan inovatif tersebut adalah karena kurang atau tidak adanya uji klinis skala global di Indonesia.

Di sisi lain, berdasarkan kertas kebijakan yang diterbitkan oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) pada 2018, kurangnya uji klinis tersebut berdampak pada terhambatnya pertumbuhan industri farmasi nasional.

Padahal, industri farmasi termasuk yang terlibat dalam pembuatan vaksin, berpotensi untuk mencapai nilai sampai dengan USD 125.49 miliar pada 2028 berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Firma Konsultan Manajemen, Arthur D. Little.

Perwakilan IASMED sekaligus akademisi Monash University Indonesia dr. Grace Wangge Ph.D. menyatakan bahwa perlunya penguatan terutama terkait regulasi Menteri Kesehatan No. 85 tahun 2020.

“Peraturan ini mengandung beberapa aspek yang menurut kami dapat disempurnakan agar proses tata kelola perizinan uji klinis lebih baik dan akuntabilitasnya terjaga,” kata Grace dalam diskusi panel di Jakarta, Kamis (9/2/2023).

Diskusi panel soal obat inovatif dan uji klinis di Indonesia. (9/2/2023) Foto: Ade Nasihudin/ Liputan6.com.

Pasal Kontraproduktif

Grace menambahkan, beberapa pasal cukup berpotensi kontraproduktif, salah satunya adalah Pasal 31 ayat 2 dan Pasal 35 yang memperpanjang proses birokrasi dan administratif.

Untuk itu, penguatan regulasi diperlukan agar dapat mendukung cita-cita terciptanya ekosistem riset obat, vaksin dan alat diagnostik yang mumpuni dan dalam jangka panjang akan mendukung kemandirian farmasi di Indonesia.

“Kami berharap penguatan regulasi ini dapat memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan pengobatan yang bersifat inovatif dan berpotensi untuk memperbaiki kondisi kesehatan mereka.”

“Selain itu, semakin banyaknya penelitian tersebut akan memberikan akses bagi para peneliti terhadap studi global yang mendorong pertukaran pemikiran dan peningkatan kapasitas sehingga dapat memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik,” tambah Grace.


Solusi Komprehensif

Dalam kesempatan yang sama Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG), Inge Kusuma menyarankan adanya solusi komprehensif.

Termasuk solusi untuk percepatan adopsi obat-obatan baru yang dapat menyelamatkan hidup pasien, meningkatkan kualitas layanan kesehatan di Indonesia, meningkatkan produktivitas yang berkaitan dengan penyakit, serta menghemat devisa yang ditimbulkan dari orang Indonesia yang bepergian ke luar negeri untuk perawatan medis.

Solusi ini antara lain melalui partisipasi Indonesia dalam uji klinis skala global, multi sentra yang memenuhi standar internasional.

Rekomendasi ini juga mendorong untuk memaksimalkan peran pemerintah sebagai regulator dan pembuat kebijakan untuk memberikan panduan pelaksanaan uji klinis. Terutama dalam pembuatan perjanjian dengan pihak ketiga, pengawasan dalam pelaksanaan perjanjian, dan diseminasi hasil dari pengawasan tersebut.


Kolaborasi Berbagai Pihak

Rekomendasi tersebut bisa memastikan bahwa uji klinis akan mendapatkan manfaat yang maksimal dan sesuai dengan regulasi yang berlaku di Indonesia serta standar internasional.

Di luar penguatan tersebut, pihak peneliti yang diwakili oleh dr. Nina Dwi Putri, Sp.A (K) juga mendorong adanya kolaborasi antar pemerintah, pihak industri farmasi, peneliti, serta akademisi untuk memastikan iklim penelitian yang kondusif dan maju di Indonesia.

“Hal ini sangat diperlukan karena Indonesia sudah tertinggal kurang lebih sepuluh tahun dari negara tetangga kita di Asia Tenggara. Padahal, di sisi lain, masyarakat kita juga membutuhkan akses obat yang inovatif untuk mengatasi permasalahan kesehatan modern yang kurang lebih sama,” tutup Nina.

Infografis Menanti Hasil Uji Klinis Calon Vaksin Covid-19. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya