Liputan6.com, Banyuwangi - Melintang, memanjang seutas benang sutra di anyam menjadi karya. Dibuat oleh tangan kecil yang sudah tua, dari ujung timur Pulau Jawa ini, kain tenun khas Banyuwangi tercipta. Dia adalah iIbu Siami dari Desa Jambesari, Kecamatan Giri, Banyuwangi.
Menjadikannya sangat sepesial, alat tenun tradisional dari kayu yang bahkan lebih tua dari usianya, membuat irama merdu kala helai-helai benang saling melintang di dalam rumah khas Osing itu. Siami sangat mencintai pekerjaannya sebagai penenun kain di Desa Jambesari, Banyuwangi.
Advertisement
Wanitan yang sudah memasuki usia 73 tahun itu telah menekuni pekerjaannya sedari kecil. Darah seni mengalir padanya mulai dari buyut, nenek, hingga ibunya dan menurun padanya.
"Dulu daerah Delik (sebuah dusun di Desa Jambesari) ini adalah tempat pengerajin tenun, setahu saya mulai dari buyut menenun hingga saat ini saya meneruskan, anak saya sudah tidak mau meneruskan karena tidak bisa karena tidak sabaran, terus orang-orang sini juga tidak mau meneruskan, karena memakan waktu dan orang pengerajin dulu juga meninggal," ucapnya di Banyuwangi, Jumat (10/2/2023).
Menciptakan karya memang harus sabar, sama halnya dengan menenun. Mulai dari "nyikati" "liring" "nenun", untuk sehelai kain tenun saja butuh waktu sepekan jika cuaca sedang panas, jika tidak, akan menghabiskan waktu sebulan, pantas bila satu lembar hasil tenunan Siami dihargai Rp3 Juta.
"Menenun itu bukan untuk bisa diajarkan tapi memang karena keinginan hati, makanya saya tidak menerima pelatihan," tegasnya.
Seperti kain tenun pada umumnya, karya khas Banyuwangi ini juga punya motifnya sendiri, yaitu jenis Gedog Solok yang didominasi warna putih, dengan motif biru hitam serta jenis Kuwung yang berwarna merah dan putih.
Di sela kesibukannya menenun, Siami menyempatkan diri mengurus kebun. Saat ini ibu dua anak itu harus bersabar karena benang sutra mulai tidak terjual lagi dan harus memesan terlebih dahulu agar bisa membuat kain tenun.
"Dulu selalu ada di toko kain, sekarang sudah susah benang sutra sekarang mudah luntur, yang bagus itu benang sutra cap macan," tandasnya.
Budaya tenun di Indonesia mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Joko Widodo telah menetapkan Hari Tenun Nasional (HTN) setiap tanggal 7 September. Penetapan HTN dilegalkan melalui Keputusan Presiden RI pada 16 Agustus 2021.
Kain Tenun dalam Budaya Osing
Sementara itu, Ketua Adat Osing Desa Kemiren, Kecamatan Glagah Banyuwangi, Suhaimi menjelaskan masyarakat desanya bisa menjaga produk budaya dan tradisi dari dalam maupun luar komunitas.
Misalnya batik yang dulu pusat produksinya jutsru di Kelurahan Temengungan, Kecamatan Banyuwangi, karya tulis Lontar Yusup dan tenun yang diproduksi di Desa Jambesari.
Bila kain batik disimpan di toples kaca dan dipajang di lemari, kain tenun lebih banyak digunakan dalam kegiatan tradisi. Saat ada warga melahirkan, menikah dan meninggal, pasti hadir di sana setidaknya sehelai kain tenun khas Osing terutama moitif Solok.
Saat kelahiran kain tenun melambangkan penyambutan. Dalam perkawinan, kain tenun menyimbolkan manusia itu pada dasarnya akan menuju ke kematian.
“Jadi memang orang itu ada awal pasti ada akhir. Misalnya tidak punya, pinjam. Tetangga yang merasa punya, sudah menyadari, bahwa ini tidak punya, dipinjami untuk mengantarkan nisan ke makam,” kata Suhaimi.
Kata dia, saat ini hanya Siami perajin kain tenun khas Osing yang masih aktif. Ada satu orang lagi yang dianggap bisa, namun bekerja di bidang lain sehingga tidak aktif menenun.
Suhami mengaku bisa membuat alat tenun dari kayu. Namun yang sulit dicari adalah tenaga trampil menenun dan benang sutra bahan tenun. Karena benang biasa akan luntur dan motifnya segera rusak.
Pihaknya berharap pemuda-pemudi desa lebih aktif dalam melakukan upaya-upaya pelestarian tenun khas Osing tersebut.
Advertisement