Wacana Booster Berbayar Rp100 Ribu, Epidemiolog Singgung Sistem Universal Health Coverage

Menurut epidemiolog Dicky Budiman, negara lain sedang menuju pada mekanisme pembayaran vaksin COVID-19 melalui asuransi, bukan bayar mandiri.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 10 Feb 2023, 15:10 WIB
Petugas menyuntikkan vaksin COVID-19 dosis ketiga (booster) pada seorang perempuan di RPTRA Rusun Benhil, Jakarta, Rabu (6/7/2022). Selain itu, vaksin booster juga jadi syarat bagi masyarakat yang ingin melakukan perjalanan menggunakan transportasi umum. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyampaikan wacana vaksin booster berbayar Rp100.000 usai pencabutan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Vaksinasi untuk booster kita siapkan, harga vaksin ini sebetulnya di bawah Rp100 ribu, itu belum pakai ongkos. Harusnya ini pun bisa di-cover oleh masyarakat secara independent (mandiri),” kata Budi dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI yang disiarkan daring pada Rabu, 8 Februari 2023.

Terkait hal ini, epidemiolog Dicky Budiman memberi tanggapan. Menurut dia, negara-negara di dunia, terutama negara maju dan sebagian negara berkembang, sudah menyiapkan mekanisme penyediaan vaksin booster dengan pembiayaan universal health coverage. Di Indonesia, universal health coverage ini dikenal dengan BPJS Kesehatan.

“Jadi sebenarnya enggak beli (vaksin), masyarakat mendapatkan haknya karena dia melakukan kewajiban membayar premi dari asuransinya, kalau di Indonesia BPJS Kesehatan. Ini termasuk untuk masyarakat yang kaya atau menengah,” kata Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara, Jumat (10/2/2023).

Sedangkan, untuk masyarakat kurang mampu, maka tergolong dalam penerima bantuan iuran atau PBI, artinya dibantu oleh negara, tambah Dicky.

Bagi masyarakat yang ingin membeli vaksin dari fasilitas kesehatan swasta maka boleh saja, tapi peran pemerintah tidak hilang.

“Sebagaimana jenis-jenis vaksin yang sifatnya menjadi masalah kesehatan masyarakat, itu (vaksin booster) harus difasilitasi oleh pemerintah.”

“Mekanismenya kalau begitu sebenarnya tidak terlalu memberatkan pemerintah karena kan kalau di BPJS Kesehatan ada sistem subsidi silang, yang kaya bantu yang miskin. Seharusnya itu yang dikembangkan,” kata Dicky.


Peran Pemerintah Tidak Hilang

Epidemiolog Dicky Budiman. Foto: Dok pribadi.

Sistem pembayaran vaksin COVID-19 melalui universal health coverage ini mulai akan diterapkan oleh negara-negara maju.

“Jadi enggak bayar (mandiri), karena masyarakat adalah peserta asuransi.”

Jika ke depannya ada mekanisme bayar mandiri untuk vaksinasi booster yang sifatnya swasta, menurut Dicky ini sah-sah saja.

“Dengan catatan status public health emergency international concern sudah dicabut WHO, kita juga sudah tidak berstatus kedaruratan kesehatan kan otomatis, nah itu bisa saja. Hanya, pemerintah harus bisa menentukan harga yang ekonomis.”

“Saya kira di bawah Rp100 ribu itu masih wajar lah ya, tapi prinsipnya peran pemerintah yang tadi itu tidak hilang.”


Tidak Harus 6 Bulan Sekali

Budi Gunadi juga sempat menyampaikan bahwa vaksin booster berbayar ini bisa dilakukan enam bulan sekali. Namun menurut Dicky, suntikan vaksin booster tidak harus enam bulan sekali.

“Kebutuhannya sebetulnya enggak mesti enam bulan sekali, belum tentu semua orang harus booster terus. Ini bisa hanya pada kelompok berisiko tinggi. Jadi, saat ini masih terlalu dini untuk mengatakan semua harus booster enam bulan sekali, kecenderungannya tampaknya tidak seperti itu.”

Yang pasti, lanjut Dicky, polanya akan seperti vaksin flu atau influenza di mana pemberiannya satu tahun sekali pada orang yang berisiko seperti lanjut (usia) lansia atau orang yang mobile (banyak bepergian).


Hybrid Immunity

Dicky juga menyampaikan riset terakhir soal hybrid immunity. Riset menunjukkan, imunitas yang terbentuk pada orang yang sudah divaksinasi lengkap dapat bertahan 12 bulan.

“Misalnya orang divaksinasi tiga kali, kemudian terinfeksi oleh subvarian Omicron, itu hybrid immunity yang terbentuk itu bertahan 12 bulan rata-rata.”

“Jadi urgensi atau dasar enam bulan menjadi enggak esensial. Ditambah lagi jika itu menyangkut kelompok muda atau yang risikonya kecil. Nah ini kenapa saya tidak melihat urgensi (booster) per enam bulan,” pungkas Dicky.

Infografis Kombinasi Vaksin Covid-19 untuk Booster II. (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya