Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri menangkap pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sindikat internasional dengan modus iming-iming gaji mencapai Rp20 juta per bulan terhadap para korbannya.
Nyatanya, korban dipekerjakan tidak sesuai perjanjiannya, yakni menjadi anggota pengelola judi online hingga penipuan.
Baca Juga
Advertisement
Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro menyampaikan, pengungkapan kasus TPPO itu diawali adanya informasi dari Kedutaan Besar (Kedubes) RI di Phnom Penh, Kamboja yakni temuan korban yang dipekerjakan secara ilegal di negeri tersebut.
"Sebagai operator telemarketing, scamming, dan judi online," tutur Djuhandhani di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (10/2/2023).
Menurut Djuhandhani, pihaknya langsung memulai penyelidikan lewat keterangan para korban serta menyita sejumlah barang bukti seperti dokumen perjalanan, perekrutan, bukti pengiriman uang, serta bukti percakapan antara korban dengan perekrut. Hasilnya, penyidik berhasil melakukan penangkapan di beberapa lokasi yakni Jawa Barat, Tangerang, dan Jakarta.
"Jaringan pertama yang diungkap dengan tersangka SJ, CR, dan MR. SJ dan CR ditangkap di Indramayu, Jawa Barat pada tanggal 24 september 2022. Yang bersangkutan berperan sebagai perekrut korban di daerah asal jawa barat," jelas dia.
Sementara tersangka MR ditangkap di Tangerang pada 26 September 2022, yang berperan memproses keberangkatan termasuk membantu pengurusan paspor dan menyediakan tiket perjalanan. Saat penangkapannya timjuga berhasil mencegah 22 orang calon korban yang akan diberangkatkan ke Kamboja. Dengan dua di antaranya merupakan anak di bawah umur.
"Perkara sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Indramayu," ujar Djuhandhani.
Hasil Pengembangan, Tersangka NJ dan AN Ditangkap
Tidak berhenti di situ, penyidik kemudian melakukan pengembangan hingga pada 27 Januari 2023. Tim berhasil menangkap tersangka NJ dan AN di Jakarta Selatan dengan peran masing-masing sebagai perekrut, membantu proses pengurusan paspor, menyediakan tiket perjalanan, dan berhubungan dengan perekrut di negara Kamboja.
"Kami lakukan penggeledahan di apartemen milik tersangka dan ditemukan berbagai dokumen terkait perekrutan dan pengiriman pekerja migran secara ilegal," ujarnya.
Djuhandhani mengatakan ditemukan 87 buku paspor yang diduga milik para korban atau calon yang akan diberangkatkan. Ada pula dokumen pengajuan visa, cap stempel berbagai nama perusahaan diduga palsu dan digunakan sebagai dokumen pendukung pengajuan visa.
"Hasil penelusuran kami, ditemukan ratusan data pekerja migran yang dikirim oleh tersangka yang kami yakini semua ilegal, karena tersangka tidak memiliki perusahaan penempatan pekerja migran," jelasnya.
Advertisement
Pengiriman Pekerja Migran Ilegal Dilakukan Sejak 2019
Dari hasil penyelidikan juga ditemukan fakta bahwa tersangka tidak hanya mengirimkan pekerja migran ilegal ke Kamboja, namun juga negara lainnya. Sementara, tercatat ada beberapa korban yang sudah dikirim dan dijanjikan akan dikirim ke Korea Selatan, Australia, Inggris, dan lainnya.
Berdasarkan pengakuan tersangka, lanjut Djuhandhani, jaringan tersebut telah melakukan aktivitas perekrutan dan pengiriman pekerja migran ilegal sejak 2019 dengan pendapatan hingga puluhan miliar rupiah.
"Modus operandi menawarkan atau menjanjikan pekerjaan di luar negeri yaitu Kamboja. Baik melalui media sosial ataupun secara langsung dengan modus dijanjikan pekerjaan sebagai buruh pabrik, customer service, telemarketing, maupun operator komputer di Kamboja dengan gaji yang tinggi. Yang pada faktanya para korban yang dijanjikan ternyata tidak mendapatkan pekerjaan ataupun gaji yang sesuai ditawarkan," Djuhandhani menandaskan.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara, minimal 3 tahun penjara, dan denda paling sedikit Rp120 juta, paling banyak Rp600 juta; dan atau Pasal 81 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara dan denda paling banyak Rp15 miliar.