Liputan6.com, Canberra - Pada awal tahun 2022, lima negara Dewan Keamanan PBB, yakni Inggris, China, Prancis, Rusia dan AS, merilis pernyataan bahwa perang nuklir tidak bisa dimenangkan dan tidak boleh dilancarkan.
Namun, laporan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) pada Juni 2022 menunjukkan bahwa kelima negara tersebut terus memperluas atau memodernisasi cadangan senjata nuklirnya dan menambah bobot senjata nuklir dalam strategi militernya.
Advertisement
Lantas, bagaimana bila kiamat nuklir terjadi? Laporan para peneliti belum lama ini mengungkapkan bahwa Australia dan Selandia Baru merupakan tempat terbaik untuk bertahan dari nuclear winter dan membantu membangun kembali peradaban yang runtuh. Nuclear winter atau musim dingin nuklir merupakan fenomena pendinginan global yang panjang dan parah pasca-perang nuklir.
Studi yang dipublikasikan dalam jurnal Risk Analysis mendeskripsikan Australia, Selandia Baru, Islandia, Kepulauan Solomon, dan Vanuatu sebagai negara kepulauan yang paling mampu menghasilkan makanan yang cukup bagi populasi mereka setelah malapetaka yang mengurangi sinar matahari secara tiba-tiba, seperti perang nuklir, gunung berapi super atau serangan asteroid.
"Kemungkinan akan ada orang yang selamat di planet ini, bahkan dalam skenario paling parah," tulis para peneliti seperti dikutip dari The Guardian, Sabtu (11/2/2023).
Australia Paling Unggul tapi...
Para penulis studi tersebut membandingkan 38 negara kepulauan dengan 13 faktor, yang menurut mereka dapat memprediksi keberhasilan negara bertahan hidup pasca-apokaliptik, termasuk produksi pangan, swasembada energi, manufaktur, dan dampak bencana terhadap iklim.
Australia dan Selandia Baru berada di puncak klasemen. Keduanya merupakan produsen pertanian yang kuat dan berada jauh dari kemungkinan lokasi jatuhnya nuklir di belahan bumi utara. Secara keseluruhan, Australia dinilai paling unggul.
"Penyangga pasokan makanan Australia sangat besar dengan potensi untuk memberi makan puluhan juta orang tambahan," ungkap studi tersebut.
Infrastruktur Australia yang relatif baik, surplus energi yang besar, keamanan kesehatan yang tinggi, dan anggaran pertahanan semuanya membantu mendorong Negeri Kanguru ke posisi teratas.
Namun, satu faktor melemahkan posisi Australia, yaitu hubungan militer yang relatif dekat dengan Inggris dan Amerika Serikat membuat negara ini lebih cenderung menjadi target dalam perang nuklir.
Advertisement
Selandia Baru
Berbeda dengan Australia, Selandia Baru justru diuntungkan dengan status bebas nuklirnya yang telah berlangsung lama. Selandia Baru juga dinilai tangguh karena posisinya yang relatif dekat dengan lautan akan melindunginya dari penurunan suhu ekstrem.
"Kami memiliki ekonomi ekspor makanan super efisien yang dapat memberi makan warga Selandia Baru berkali-kali lipat hanya dari ekspor," kata salah satu penulis studi tersebut, Profesor Nick Wilson dari University of Otago, Wellington.
Bahkan, menurut Wilson, dalam skenario terburuk –pengurangan panen sebesar 61 persen selama musim dingin nuklir yang berkepanjangan– warga Selandia Baru masih memiliki cukup makanan.
Terlepas dari kelimpahan makanan dan peringkatnya yang tinggi pada metrik kohesi sosial, namun tidak berfungsinya perdagangan global dapat memicu keruntuhan sosial secara bertahap di Selandia Baru.
"Saya prihatin tentang keamanan palsu atas Selandia Baru," kata Wilson.
Selandia Baru tidak lagi memiliki fasilitas penyulingan bahan bakar dan sangat bergantung pada impor solar, pestisida, dan mesin yang dibutuhkan untuk menopang sektor pertaniannya yang dominan.
"Negara-negara kepulauan lain akan mampu menghasilkan cukup makanan dalam krisis seperti itu," tulis Wilson dan rekannya Matt Boyd. "Tetapi kemungkinan runtuhnya industri dan kohesi sosial membuat ketahanan mereka diragukan."
Produksi pangan China, Rusia, dan Amerika Serikat dapat turun hingga 97 persen saat musim dingin nuklir dan mereka akan terpaksa mengandalkan teknologi produksi pangan baru.