Liputan6.com, Jakarta Menanggapi rencana Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin soal rencana vaksin COVID-19 berbayar di kisaran Rp100 ribu di masa endemi, Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Prof Tjandra Yoga Aditama secara tersirat menyatakan kurang setuju.
Menurut Prof Tjandra, COVID-19 adalah penyakit yang pernah menjadi pandemi luar biasa. Oleh sebab itu, akan lebih baik kalau negara melindungi warganya terhadap penyakit ini, dalam hal ini vaksinasi.
Advertisement
"Walaupun nanti sudah bukan pandemi, jadi tetap diberikan vaksinasi secara cuma-cuma. Paling tidak beberapa tahun ke depan dan lalu dievaluasi lagi dan lagi," kata Tjandra Yoga saat dihubungi Health Liputan6.com ditulis Sabtu (11/2/2023).
Dilanjutkan pria yang juga pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit di Kementerian Kesehatan RI, bukan hanya vaksin yang harus ditanggung pemerintah, tapi hal lain seperti pembiayaan pada pasien-pasien yang mengalami long COVID.
"Sekarang sedang banyak dibicarkan tentang long COVID, yang baiknya juga ditanggung oleh pemerintah pembiayaannya," katanya.
Sementara itu, epidemiolog Dicky Budiman juga mengatakan bahwa negara sebaiknya sudah menyiapkan mekanisme penyediaan vaksin booster dengan pembiayaan universal health coverage. Sehingga, masyarakat tidak membelinya.
“Jadi, sebenarnya enggak beli (vaksin). Masyarakat mendapatkan haknya karena dia melakukan kewajiban membayar premi dari asuransinya kalau di Indonesia BPJS Kesehatan. Ini termasuk untuk masyarakat yang kaya atau menengah,” ujar Dicky.
Sedangkan, untuk masyarakat kurang mampu, maka tergolong dalam penerima bantuan iuran atau PBI, artinya dibantu oleh negara, tambahnya.
Bagi masyarakat yang ingin membeli vaksin dari fasilitas kesehatan swasta maka boleh saja, tapi peran pemerintah tidak hilang.
“Sebagaimana jenis-jenis vaksin yang sifatnya menjadi masalah kesehatan masyarakat, itu (vaksin booster) harus difasilitasi oleh pemerintah.”
Soal Vaksinasi Tiap Enam Bulan
Hal yang perlu juga diingat yang belum sepenuhnya banyak orang tahu adalah apakah vaksinasinya akan diulang setiap enam bulan sekali atau sama seperti vaksinasi influenza yang setahun sekali.
"Kalau toh harus diulang, kita juga belum tahu sampai berapa lama (berapa tahun ke depan atau seumur hidup atau bagaimana) dan apakah vaksinnya akan sama atau berubah sesuai varian yang ada," kata Prof Tjandra.
Dicky juga tidak melihat esensi vaksinasi COVID-19 booster setiap enam bulan sekali. Terlebih, riset terakhir soal hybrid immunity menunjukkan, imunitas yang terbentuk pada orang yang sudah divaksinasi lengkap dapat bertahan 12 bulan.
“Misalnya orang divaksinasi tiga kali, kemudian terinfeksi oleh subvarian Omicron, hybrid immunity yang terbentuk itu bertahan 12 bulan rata-rata.”
“Jadi urgensi atau dasar enam bulan menjadi enggak esensial. Ditambah lagi jika itu menyangkut kelompok muda atau yang risikonya kecil. Nah ini kenapa saya tidak melihat urgensi (booster) per enam bulan,” pungkas Dicky.
Advertisement
Kemenkes: Masih Dikaji
Menambahkan pernyataan Budi, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI Siti Nadia Tarmizi, menyatakan bahwa persoalan vaksin COVID-19 berbayar masih dalam kajian dan sifatnya pilihan. Kebijakan ini paling cepat akan diterapkan setelah masa transisi pandemi ke endemi berakhir. Diperkirakan tahun ini adalah tahun di mana Indonesia akan bergeser dari pandemi menjadi endemi.
"Ini (vaksin COVID-19 berbayar) kemungkinan untuk booster ketiga," kata Nadia saat dikonfirmasi Health Liputan6.com melalui pesan singkat pada Jumat, 10 Februari 2023.
Perihal booster yang diulang setiap 6 bulan sekali di masa endemi, Nadia menekankan, hal itu belum menjadi keputusan final.
Pertimbangan skema penyuntikan, apakah harus diulang kembali tiap 6 bulan atau setahun sekali seperti vaksin influenza, akan dibahas lebih lanjut.
"(Untuk mekanisme penyuntikannya) tunggu kajian," kata Nadia.