Cerita Dibalik Festival Bau Nyale, Bukan Sekadar Iseng Tangkap Cacing Laut

Bau Nyale memiliki sejarahnya tersendiri. Cerita dibaliknya erat dengan sosok Putri Mandalika.

oleh Diviya Agatha diperbarui 12 Feb 2023, 11:00 WIB
Budayawan Lalu Ari Irawan saat memberikan pemaparan soal Festival Bau Nyale di acara Aksi Gizi Generasi Maju bersama Danone Indonesia.

Liputan6.com, Lombok - Bagi masyarakat awam yang belum mengenal tradisi Suku Sasak di Nusa Tenggara Barat (NTB), pergi ke pantai malam hari atau subuh-subuh untuk menangkap cacing laut mungkin terdengar membingungkan.

Bisa jadi, Anda salah satu yang ikut mempertanyakan soal maksud dan tujuannya. Aktivitas tersebut dikenal dengan sebutan Bau Nyale. Bau memiliki arti menangkap dan nyale adalah cacing laut.

Bau Nyale telah lama dilakukan oleh masyarakat Suku Sasak. Dosen sekaligus peneliti Ilmu Kajian Budaya Universitas Pendidikan Mandalika, Lalu Ari Irawan mengungkapkan bahwa tanggal untuk melakukan Festival Bau Nyale sudah diprediksi oleh para ketua adat Suku Sasak.

"Sudah diprediksi oleh para ketua adat Sasak. Mereka sudah berkumpul di bulan Januari untuk menentukan tanggal kapan akan dilakukan Bau Nyale," kata Lalu Ari dalam acara Aksi Gizi Generasi Maju bersama Danone Indonesia di Lombok, NTB pada Jumat, 10 Februari 2023.

Sebelumnya, tanggal untuk melaksanakan Festival Bau Nyale sudah diputuskan berdasarkan alat dan kebijaksanaan masyarakat lokal di NTB. Pada tahun ini, Bau Nyale akhirnya jatuh pada tanggal 10-11 Februari 2023.

Berawal dari Putri Mandalika

Festival Bau Nyale pun erat kaitannya dengan kisah Putri Mandalika. Seorang putri cantik yang diperebutkan banyak pangeran. Lalu Ari mengungkapkan, kisah berakhir tragis ketika Putri Mandalika lebih memilih untuk melompat ke pantai dan kemudian menghilang.

"Ada yang meyakini bahwa dia (Putri Mandalika) diangkat ke langit menjadi bintang. Ada yang meyakini dia menjadi cacing langsung, berbeda-beda versi. Salah satu yang paling populer adalah dia berubah menjadi cacing nyale," ujar Lalu Ari.


Ada Perjanjian Soal Tanggal Pertemuan

Potret saat masyarakat di Lombok, Nusa Tenggara Barat mengikuti Festival Bau Nyale 2023. (Foto: Dokumentasi Health Liputan6.com)

Lebih lanjut Lalu Ari mengungkapkan bahwa ada sebuah perjanjian dari Putri Mandalika, dimana ia meminta bertemu setiap tanggal 20 bulan 10 di penanggalan tradisional masyarakat Sasak.

"Bagi masyarakat Sasak, mereka sudah tahu. Di dalam cerita rakyat, setiap tanggal 20 bulan 10 penanggalan Sasak itu nyale akan datang sesuai janji Mandalika. Mandalika berjanji bahwa 'Temui saya setiap tanggal 20 bulan 10', kemudian dia menghilang," kata Lalu Ari.

Sejak saat itu, muncul cacing laut warna-warni pada tanggal yang sesuai dengan perjanjian tersebut. Cacing dengan sebutan nyale itulah yang hingga kini dipercayai sebagai jelmaan dari Putri Mandalika yang sangat dikagumi.

Putri Mandalika sendiri melompat karena merasa gundah gulana tidak bisa menolak pangeran-pangeran yang tertarik padanya. Ia merasa akan ada perpecahan jika ia hanya memilih satu dan menolak yang lain.

Akhirnya ia menerima semua dan melompat ke pantai.


Kepercayaan Soal Keberuntungan dari Putri Mandalika

Cacing Laut Hasil Tangkapan di Festival Bau Nyale 2023, Lombok, NTB.

Selain itu, perempuan dari Suku Sasak yang bisa menjalankan dirinya lewat amanat cerita Putri Mandalika akan layak disebut perannya sebagai Inen Bale, Inen Gawe, dan Inen Pare.

Inen Bale, Inen Gawe, dan Inen Pare memiliki arti bahwa perempuan sebagai ibu rumah tangga yang mampu mengurus rumah tangganya sendiri secara mandiri, mampu bekerja dari awal sampai akhir, dan seorang ibu yang mampu mengerjakan sawah dengan hasil yang berlimpah ruah.

Masyarakat Lombok di NTB juga masih sangat percaya bahwa siapa saja yang bisa menangkap nyale akan diberikan keberuntungan dalam hidupnya.

Lalu Ari menambahkan, kisah Putri Mandalika memang erat kaitannya dengan mitologi. Namun dibalik itu, sejarah atau asal-muasalnya tetaplah ada.

"Ini terdengar seperti mitologi. Kadang kita berdebat, mitos ini realitas, sebuah mimpi, atau sebuah imajinasi. Tapi sebenarnya yang namanya mitologi itu berasal dari sesuatu yang real di masyarakat kita," ujar Lalu Ari.


Jadi Alat untuk Transfer Ilmu Pengetahuan

Corporate Communication Director Danone Indonesia Arif Mujahidin, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB, dr H Lalu Hamzi Fikri, Dokter Spesialis Gizi Klinik Nurul Manikam, dan Budayawan NTB Lalu Ari Irawan dalam rangkaian acara Aksi Gizi Generasi Maju. (Sumber: Dokumentasi Danone).

Lalu Ari mengungkapkan bahwa dalam dunia pengetahuan saat ini, masyarakat tentunya akan merujuk pada science lewat sesuatu yang tertulis, tercatat, dan memiliki jurnal jelas.

"Nah, di masyarakat kita yang tradisional dulu, mereka tidak memiliki alat-alat semacam itu. Maka, mitologi adalah salah satu metode untuk transfer pengetahuan. Salah satunya adalah nyale di masyarakat Sasak. Sebenarnya apa yang ditransfer dan apa yang ingin diberi tahu itu ada di dalam ajaran orangtua kita dulu," kata Lalu Ari.

Menurutnya, masyarakat Sasak menganggap Putri Mandalika adalah kebenaran spiritual.

"Jadi kalau ada yang bilang itu adalah mitos, bagi masyarakat mereka akan tersinggung karena mereka memiliki referensi bahwa itu adalah realitas kebudayaan yang mereka yakini," pungkasnya.

Infografis: Warisan Budaya Indonesia yang Sudah Diakui UNESCO

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya