Liputan6.com, Ankara - Sepekan setelah gempa Turki dan Suriah, lebih dari 34.000 orang dikonfirmasi tewas di kedua negara.
Pusat Koordinasi Darurat Turki SAKOM mengatakan pada Minggu (12/2/2023), korban tewas akibat gempa dahsyat 6 Februari 2023, mencapai 29.605 orang. Adapun korban tewas di Suriah, baik di wilayah yang dikuasai oposisi maupun pemerintah, adalah 4.574 orang. Demikian laporan CNN, Senin (13/2).
Advertisement
Di tengah angka kematian yang terus menanjak, keajaiban demi keajaiban masih terjadi.
Tim penyelamat dilaporkan berhasil mengeluarkan bayi berusia tujuh bulan dari puing-puing di Hatay, Turki, tepatnya 139 jam setelah gempa dahsyat terjadi.
Di tempat lain di Hatay, seorang anak usia 12 tahun bernama Cudie, juga berhasil diselamatkan setelah terperangkap di antara reruntuhan selama 147 jam.
Media pemerintah Turki melaporkan, di Gaziantep, seorang anak usia 13 tahun berhasil diselamatkan pada Minggu.
"Kamu adalah keajaiban," ujar regu penyelamat kepada anak itu seperti dikutip dari BBC.
113 Orang Ditetapkan Sebagai Tersangka
Saat misi penyelamatan mencapai hari-hari terakhir, fokus kini beralih ke masa pemulihan dan memperhitungkan situasi.
Ribuan bangunan runtuh selama gempa. Fenomena tersebut menimbulkan pertanyaan tentang apakah dampak bencana alam diperparah oleh kegagalan manusia.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah mengakui kekurangan dalam penanganan gempa dahsyat, tetapi, selama kunjungannya ke zona bencana awal pekan ini, dia menyinggung soal takdir.
"Hal-hal seperti itu selalu terjadi," katanya. "Itu bagian dari rencana takdir."
Pejabat Turki mengumumkan, mereka telah mengeluarkan 113 surat perintah penangkapan sehubungan dengan pembangunan gedung yang runtuh, dengan 12 orang ditahan, termasuk kontraktor.
Advertisement
Situasi di Suriah
Sementara itu, tim penyelamat mengkritik respons lamban komunitas internasional terhadap korban gempa di Suriah, yang rakyatnya telah lama menderita akibat perang saudara.
"Mereka sudah sepatutnya merasa ditinggalkan. Mencari bantuan internasional yang belum juga sampai," ujar Kepala Bantuan Kemanusiaan PBB Martin Griffiths.
Pada Minggu, Griffiths mentwit bahwa truk-truk dengan bantuan PBB meluncur ke Suriah barat laut.
"Saya mendorong peningkatan konvoi dari pusat transshipment PBB di perbatasan Turki. Kita perlu membuka lebih banyak titik akses dan mendapatkan lebih banyak bantuan dengan cepat," twit Griffiths.
Ismail al Abdullah, dari kelompok White Helmets, mengatakan bahwa masyarakat internasional memiliki "darah di tangan" mereka karena mengabaikan korban gempa di Suriah.
WHO mengklaim, pihaknya tengah menunggu persetujuan akhir untuk mengirimkan bantuan ke Suriah barat laut, yang dikuasai pemerintah.
"Diharapkan Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dapat segera melakukan perjalanan ke daerah terdampak gempa yang dikuasai pemberontak," kata organisasi itu pada Minggu.
Tedros dan tim pejabat tinggi WHO dilaporkan telah tiba di Aleppo pada Sabtu (11/2), dengan membawa perlengkapan darurat trauma dan bedah senilai lebih dari US$ 290.000.
Di Damaskus, Direktur Darurat Regional WHO Rick Brennan dalam jumpa pers pada Minggu menuturkan bahwa tidak ada pengiriman lintas batas ke Suriah barat laut sejak gempa melanda. Bantuan yang dimaksud Brennan adalah pengiriman reguler yang berlangsung akibat perang saudara.
"Kami memiliki satu jadwal dalam beberapa hari ke depan. Kami masih bernegosiasi untuk melanjutkannya," kata Brennan.
Menurut Brennan, WHO mendapat persetujuan dari pemerintah Suriah di Damaskus tetapi sedang menunggu persetujuan dari entitas di sisi lain.
"Kami bekerja sangat, sangat keras untuk menegosiasikan akses itu," tegas Brennan.