Membandingkan Proses Pembangunan SJUT di Indonesia dengan Negara Maju

Dosen Sekolah Teknik Elektronika dan Informasi (STEI) ITB, Agung Harsoyo, menilai sudah sewajarnya Pemda mengatur penempatan jaringan utilitas seperti jaringan telekomunikasi, air, dan listrik.

oleh Iskandar diperbarui 13 Feb 2023, 14:00 WIB
Petugas Satgas Bina Marga Jakarta Pusat melakukan penataan jaringan utilitas di kawasan Wahid Hasyim, Jakarta, Selasa (15/3/2022). Penataan kabel utilitas yang semrawut diharapkan meningkatkan kualitas pedesterian DKI Jakarta sehingga pejalan kaki merasa aman dan nyaman. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah pemerintah daerah (Pemda) kini tengah membahas aturan mengenai penataan jaringan utilitas di wilayahnya masing-masing.

Namun sayangnya, penataan ini akan mengenakan biaya sewa tinggi terhadap sarana jaringan utilitas terpadu (SJUT) yang dibangun Pemda.

Terkait hal ini Dosen Sekolah Teknik Elektronika dan Informasi (STEI) ITB, Agung Harsoyo, menilai sudah sewajarnya Pemda mengatur penempatan jaringan utilitas seperti jaringan telekomunikasi, air, dan listrik di wilayahnya.

Menurut Agung, harusnya SJUT memang dibangun oleh pemerintah karena tujuannya untuk menata kota. Terlebih, pembangunan SJUT merupakan bagian penyediaan fasilitas layanan umum untuk masyarakat.

Ia memberikan contoh, di Jepang dan Inggris, SJUT dibangun dan dibiayai oleh pemerintah. Proses pembangunannya sendiri juga ada standarnya.

"Bukan seperti SJUT yang saat ini dibangun Pemda DKI Jakarta yang tidak seperti standar berlaku. SJUT di negara maju dapat dilewati teknisi untuk melakukan perbaikan. Selain itu, SJUT juga dapat ditaruh jaringan listrik, air bersih, air lembah dan jaringan telekomunikasi," ujar Agung melalui keterangannya, Senin (13/2/2023).

Karena merupakan bagian untuk memberikan pelayanan kepada warganya dan anggaran pembangunan berasal dari APBD, maka sewajarnya semua pengelola jaringan utilitas dapat memanfaatkan SJUT yang dibangun Pemda.

Jika harus membayar, menurut Agung harusnya tidak dengan skema sewa, tetapi dengan retribusi.

"Kalau sewa berarti trotoar atau badan jalan adalah miliknya Pemda. Ketika telah disewa salah satu badan usaha, artinya tidak boleh ada pihak lain yang dapat menggunakannya. Dengan demikian, skema sewa tidak tepat. Sementara melalui skema retribusi, dana yang dihimpun Pemda dapat dipergunakan untuk pemeliharaan dan penggembangan SJUT di masa mendatang," Agung memaparkan.

 


Masyarakat Akan Terbebani

Pejalan kaki melintas di bawah jaringan kabel utilitas yang menjuntai di Jalan Proklamasi, Pegangsaan, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (6/10/2022). Minimnya pengawasan dalam tahap penyelesaian proyek revitalisasi trotoar oleh pihak terkait menyebabkan jaringan kabel utilitas di kawasan tersebut semrawut yang dapat membahayakan keselamatan pengguna jalan, terutama saat musim penghujan. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Jika Pemda terburu-buru membuat aturan sewa SJUT yang tinggi kepada penyedia jaringan utilitas, maka dipastikan tambahan biaya tersebut akan dibebankan kepada masyarakat.

"Tambahan biaya yang diterima penyedia layanan internet, air, gas, dan listrik akan dibebankan kepada masyarakat. Jika demikian, maka akan mengurangi daya saing daerah tersebut. Bahkan bisa mengurangi daya saing ekonomi Indonesia," ucap Agung.

Ia menyebut jika ada operator jaringan sudah melakukan pemindahan jaringan udaranya ke tanah, jangan dipaksa Pemda untuk pindah ke SJUT yang dibangunnya. Sebab, pemindahan jaringan tersebut akan menambah beban penyelenggara jaringan utilitas.

Tambahan biaya ini akan dikompensasikan ke pelanggan. Jika pelanggan tak mau dikorbankan, Pemda harus menanggung seluruh beban pemindahan jaringan utilitas tersebut.

"Harusnya Pemda memiliki rencana yang jelas dalam membuat SJUT untuk penataan kota yang lebih baik. Kalau tujuan utama Pemda DKI adalah bebas dari kabel udara, penyelenggara infrastruktur harus di fasilitasi dengan diberikan kompensasi yang bersifat win win solution apakah bentuknya ganti rugi, pengurangan biaya atau bahkan di gratiskan dengan jangka waktu tertentu," Agung menjabarkan.

"Pemda DKI jangan memakai alasan bebas kabel udara tapi tujuan utamanya untuk mengambil PAD. Jangan sampai Pemda DKI merancangnya, tapi malah menyebabkan ekonomi biaya tinggi dengan memaksa operator telekomunikasi menggunakan SJUT milik Pemda sehingga berpotensi menghambat transformasi digital yang dicita-citakan Presiden Joko Widodo," ucap mantan aggota BRTI itu menambahkan.

 


Pemda Harus Mengikuti Aturan Berlaku

Petugas Satgas Bina Marga Jakarta Pusat melakukan penataan jaringan utilitas di kawasan Wahid Hasyim, Jakarta, Selasa (15/3/2022). Penataan kabel utilitas yang semrawut diharapkan meningkatkan kualitas pedesterian DKI Jakarta sehingga pejalan kaki merasa aman dan nyaman. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Menurut Agung, jika Pemda mau membuat aturan, mereka harus mengikuti aturan yang berlaku. Pemda tidak boleh membuat aturan sendiri, terlebih pemerintah pusat sudah mengeluarkan UU Cipta Kerja dan aturan turunannya.

Agung meyakini, dengan kota yang tertata baik dan dilengkapi fasilitas utilitas yang memadai, akan banyak investor yang masuk di daerah tersebut.

"Seharusnya Pemda jangan menentukan regulasi sesuai keinginannya sendiri. Pengaturan ganti rugi itu sudah diatur dalam PP 52 Pasal 70, perlu diharmonisasi lebih lanjut peraturan itu," tuturnya.

Ia menambahkan, lebih baik Pemda mendapatkan manfaat dari peningkatan ekonomi daerahnya sehingga kesejahteraan rakyat dan pajak yang didapatkan daerah juga akan meningkat.


Infografis Era Teknologi 5G di Indonesia (Liputan6.com/Triyasni)

Infografis Era Teknologi 5G di Indonesia (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya