Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menilai, hingga kini pertumbuhan ekonomi Indonesia belum berkualitas meskipun sudah berkali-kali tumbuh positif. Hal itu dikarenakan pertumbuhan ekonomi tersebut belum bisa memberikan lapangan pekerjaan yang luas.
"Saya selalu bilang bolak-balik, apakah pertumbuhan ekonomi kita berkualitas? Menurut saya tidak," kata Hariyadi dalam acara dialog dan Launching Apindo Business and Industry Learning Center (Abilec) di Jakarta, Senin (13/2/2023).
Advertisement
Hariyadi menegaskan, walaupun pertumbuhan ekonomi diklaim terus membaik dan didukung oleh aliran investasi yang kian meningkat. Tapi kenyataannya lapangan pekerjaan masih kurang.
Sebagai informasi, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi nasional sepanjang 2022 tembus di atas 5 persen yakni 5,31 persen. Bahkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia dinilai lebih baik dibandingkan negara lain yang masih tumbuh minus.
Sejalan dengan hal itu, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi sepanjang 2022 mampu melampaui target Rp 1.200 triliun, tepatnya Rp 1.207,2 atau naik 34 persen dari tahun 2021."Tapi (dari investasi itu) penyerapan lapangan pekerjaan hanya 1,3 juta orang, berarti setiap Rp 1 triliun cuma hasilkan 1.081 pekerjaan dibandingkan tahun 2013 waktu investasi masih Rp 398 triliun bisa ciptakan 1,8 juta pekerja atau setiap Rp 1 triliun hampir 4.600 pekerja," ujar Hariyadi.
Oleh karena itu, APINDO meluncurkan program APINDO Business & Industry Learning Center (ABILEC) kerjasama dengan Industry & Business Institute of Management (IBIMA).
Hariyadi mengungkapkan program ini merupakan Kerjasama IBIMA Indonesia bersama APINDO yang diharapkan menjadi agregator bisnis dan industri serta berperan aktif dan menjadi solusi atas tantangan kebutuhan pengembangan SDM 4in1, program link & match dunia usaha dunia industri, serta berbagai bentuk kerjasama yang melibatkan berbagai pihak.
"ABILEC dan IBIMA ini bukan sekedar lembaga yang bersifat agregator dan learning center saja tetapi menjadi lembaga kajian strategis yang betul-betul bukan hanya menghasilkan SDM tapi juga berpikir kepentingan industri jangka panjang kita bisa terimplementasikan," pungkas Hariyadi.
Apindo: Toko Ritel Banyak Tutup karena Perubahan Perilaku Konsumen
Sejumlah perusahaan ritel ternyata sulit untuk bertahan di tengah bernagai tekanan ini. Salah satunya adalah Transmart yang menutup 12 gerai pada 2022. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pun buka suara dengan fenomena toko ritel modern yang tutup.
Ketua Umum Apindo Hariyadi B. Sukamdani menjelaskan, sejumlah toko ritel yang tutup disebabkan oleh dua faktor. Pertama, perubahan perilaku konsumen ritel modern dengan lebih memilih belanja melalui e-commerce atau perniagaan elektronik.
"Nomor satu memang perubahan perilaku konsumen. Sekarang apa-apa belinya online, barang kecil aja belinya online kan," ujar Hariyadi di kantor Apindo, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (13/4/2023).
Kedua, penurunan daya beli masyarakat imbas pandemi Covid-19. Hal ini mengakibatkan kemampuan belanja masyarakat menjadi berkurang.
"Terkait daya beli itu memang ada. Yang tadinya belanjanya rata-rata Rp 50 ribu sekarang Rp 30 ribu, itu ada pengaruhnya di situ," jelas Hariyadi.
Advertisement
Sepi Pengunjung
Sebelumnya, Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey, berkomentar soal hypermarket Transmart yang kedapatan menutup sejumlah gerainya akibat sepi pengunjung. Ia pun membantah isu bahwa gerai ritel milik konglomerat Chairul Tanjung itu tengah dilanda kebangkrutan.
"Transmart itu sebenarnya bukan kolaps, atau sebagian bilang bangkrut. Transmart itu dia sedang beranomali untuk menyesuaikan dengan situasi kondisi zamannya," kata Roy saat ditemui di Hypermart Puri Indah, Jakarta, Rabu (8/2/2023).
Menurut dia, pengusaha ritel itu tidak bisa tergesa-gesa dalam menyikapi perubahan zaman. Sebagai contoh, pihak manajemen tak bisa asal membongkar tata letak barang yang tersimpan di gerai supermarket.
"Transmart pada beberapa saat yang lalu bisnis modelnya ataupun pengaturan tenant mix-nya tidak berjalan cepat, tidak berjalan lancar. Sementara perilaku konsumen berjalan cepat," ujar Roy.
"Dengan kata lain, kemarin kan sudah lihat ketika owner-nya turun, berkunjung ke berbagai toko. Dia langsung dengan intuisi bisnisnya berubah, oh iya, saya mau dong ini dibedain tata letaknya, dibedain pencahayaannya, bedain lokasinya. Istilahnya turun gunung," bebernya.