Pemilihan Wakil Ketua MA Non Yudisial Diharap Cerminkan Keterwakilan Kamar Perkara

Pemilihan jabatan pimpinan MA belum selesai. Sebab, akan ada kekosongan jabatan, yakni Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial yang sebelumnya dijabat Sunarto.

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 13 Feb 2023, 21:46 WIB
Gedung Mahkamah Agung (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Agung (MA) menggelar sidang paripurna khusus pemilihan Wakil Ketua Bidang Yudisial, Selasa (7/2). Diketahui, sebanyak 44 hakim agung telah menggunakan hak suaranya dan Sunarto mendapat 27 suara sehingga berhak menduduki jabatan tersebut.

Namun pemilihan jabatan pimpinan MA belum selesai. Sebab, akan ada kekosongan jabatan, yakni Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial yang sebelumnya dijabat Sunarto.

Menanggapi hal itu, Pengamat hukum dari Universitas Muhammadiyah Jakarta Septa Chandra berharap, pemilihan Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial harus sesuai mengingat keberadaannya dipandang strategis bagi pelaksanaan pembinaan dan pengawasan sumber daya manusia di lingkungan MA.

"Pertama, yang terpilih mesti berintegritas dan punya pengalaman manajerial. Saya kira semua hakim agung yang pernah menjabat ketua kamar atau ketua muda layak dipilih," kata Septa dalam keterangan diterima, Senin (13/2/2023).

Dia menyatakan, semua hakim agung dengan kriteria dimaksud pantas mencalonkan diri selama tidak pernah terindikasi melanggar hukum atau kode etik. Indikasi itu dapat ditelusuri dari catatan rekam jejak hakim selama berkarir, termasuk melalui informasi pengaduan masyarakat.

"Kedua, yang terpilih memiliki komitmen serta ketegasan untuk menegakkan marwah peradilan. Karena yang diawasi adalah perilaku orang, kadang rekan, kadang teman, keluarga, dan macam-macam, maka tidak boleh ada kompromi terhadap siapa pun," ungkap Wakil Rektor IV UMJ itu.

Dia menyebut, di antara tugas berat Wakil Ketua MA non Yudisial ialah memberantas keberadaan makelar kasus. Siapa pun yang terpilih nantinya harus menutup rapat celah bagi kemungkinan terjadinya praktik transaksi perkara.

"Ketiga, sebisa mungkin mencerminkan prinsip keterwakilan kamar atau badan peradilan secara demokratis," tambah Septa.


Pertimbangkan Respresentasi Kamar

Menurut dia, meski urusan memilih sepenuhnya hak setiap hakim agung, sangat penting mempertimbangkan respresentasi kamar di mana seorang calon bertugas. Hal tersebut terutama untuk menghindari kesan diskriminatif mengenai peluang jabatan karir hakim.

"Jangan sampai timbul kesan kalau jabatan pimpinan itu jatah hakim kamar A atau B, kamar lain tidak bisa, meskipun prosesnya melalui pemilihan ya. Karena kita tahu hakim agung yang bertugas di tiap kamar itu sama-sama berkarir dari bawah," jelas dia.

Septa mencontohkan, sepanjang pengetahuannya, wakil ketua MA bidang yudisial selalu dijabat oleh hakim agung berlatar kamar perkara umum. Sementara, wakil ketua MA bidang non yudisial secara bergantian dijabat oleh hakim agung dari kamar umum dan kamar agama. Dua jabatan itu, lanjutnya, belum pernah diisi oleh hakim dari kamar militer maupun tata usaha negara (TUN).

"Dari kamar militer mungkin sudah tiga kali ya menjabat Ketua MA, tapi dari TUN ini belum pernah menduduki pimpinan MA," ujarnya.

Kondisi tersebut, kata Septa, kurang ideal karena mengesankan seolah hakim TUN tidak cakap mengemban amanah pimpinan MA, juga seolah ada dikotomi 'anak emas' dan 'anak tiri' untuk pengisian jabatan pimpinan MA.

Karena itu, dia menyarankan alangkah lebih baik bila MA mencontoh solidaritas TNI, di mana kini tak ada lagi dominasi matra darat di posisi Panglima TNI.

"Hakim agung dan kamar itu kan tidak banyak, jadi saya pikir tidak sulit menerapkan prinsip keterwakilan tadi, akan lebih representatif dan terasa kebersamaannya," Septa menutup.

Infografis Hakim Terjerat Kasus Suap Pengurusan Perkara di Mahkamah Agung. (Liputan6.com/Trieyasni)

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya