Menipisnya Daerah Resapan hingga Alih Fungsi Lahan Jadi Pemicu Banjir di Banyuwangi

Direktur Ijen Geopark Banyuwangi Abdillah Baraas mengatakan banjir adalah siklus alamiah dari alam. Hal itu tidak dapat terelakan. Secara alami siklus terjadi dalam kurun waktu puluhan hingga ratusan tahun. Namun peranan manusia mempercepat siklus tersebut.

oleh Hermawan Arifianto diperbarui 14 Feb 2023, 18:09 WIB
Akibat intensitas hujan yang lebat sejumlah keluarhan di Kota Banyuwangi terendam banjnir (Hermawan Arifianto/Liputan6.com)

Liputan6.com, Banyuwangi - Banyuwangi direndam banjir akibat hujan deras yang mengguyur dalam beberapa hari ini. Banjir terjadi secara bertahap, sejak Jumat hingga Minggu Februari 2023. Dampak terparah dirasakan oleh sejumlah masyarakat yang tinggal di bantaran Sungai Kalilo. 

Selain terendam, beberapa bangunan rumah warga pun roboh, karena turap yang menahan laju air sungai ambles.

Direktur Ijen Geopark Banyuwangi Abdillah Baraas mengatakan banjir adalah siklus alamiah dari alam. Hal itu tidak dapat terelakan. Secara alami siklus terjadi dalam kurun waktu puluhan hingga ratusan tahun. Namun peranan manusia mempercepat siklus tersebut. 

Seperti di Banyuwangi, yang saat ini siklusnya kian memendek. Dalam waktu setahun, banjir bisa sampai dua kali terjadi. Sungai sebagai jalur lintasan air mengalami pendangkalan.

"Air yang mengalir dari gunung pasti membawa material sehingga membuat dangkal secara alami. Banjir datang untuk menormalisasi sungai yang dangkal agar dalam kembali. Endapan tersebar di bantaran yang implikasinya membuat tanahnya subur, akhirnya banyak tegakan pohon tinggi, kalau sekarang jadi rumah-rumah," kata Abdillah, Selasa (14/2/2023).

Akan tetapi, keteledoran manusia mempercepat siklus tersebut. Seperti alih fungsi lahan, membuang sampah dan masifnya pendirian bangunan di daerah resapan yang tidak memperhatikan konsep arsitektur konservatif.

Banyuwangi memiliki topografi wilayah yang kompleks. Memiliki deretan gunung di sebelah barat dan laut di sisi timurnya.

Berdasarkan letaknya, titik banjir terparah di wilayah kota Banyuwangi salah satunya berada di bantaran Sungai Kalilo. Sungai itu menjadi salah satu jalur lintasan yang mengalirkan air dari gunung menuju ke laut.

Permasalahannya, kata Abdillah, berada di titik hulu dimana di wilayah itu telah terjadi perombakan secara masif.  Hal itu dapat dilihat di daerah Gantasan (lereng Ijen), lereng Gunung Ranti, Lereng Gunung Merapi.

Di wilayah itu tanaman tinggi dan bertekstur keras diganti dengan tanaman semusim. Padahal akar-akar pohon tinggi bertekstur keras berperan besar dalam menjaga kekuatan tanah. 

Sementara daunnya berfungsi menjadi kanopi. Memecah bulir-bulir hujan menjadi partikel lebih kecil. Kemudian mempermudah laju serapan air ke tanah.


Buruan Investor

Rumah Ambrol di pinggir Sungai Kalillo akibat tergeris air (Istimewa)

Selain itu, pendirian bangunan secara masif adalah penyebabnya. Sebagai daerah pariwisata, Banyuwangi tentu menjadi buruan para investor.  Hal ini karena daerah ini memiliki lokasi strategis untuk pengembangan usaha di bidang industri pariwisata. 

Apalagi wisata berbasis semi alam saat ini menjadi trend yang paling banyak diminati. Berbicara wisata alam Banyuwangi adalah gudangnya.  Bahkan kini, kafe, resto ataupun penginapan yang menjual latar pemandangan alam menjamur di Bumi Blambangan ini.

"Terbukti banyak sekali, cafe, resto dan homestay yang mendirikan bangunan di bantaran sungai dan di lereng terjal. Dapat dilihat di daerah Licin, Glagah, Kemiren yang notabene berdekatan dengan sungai," tegasnya.

Menjadi daya tarik yang menguntungkan memang, akan tetapi justru dari situlah masalah muncul. Pengabaian terhadap lingkungan dalam perencanaan pembangunan yang justru berimbas buruk bagi kelangsungan hidup masyarakat

Harusnya, lanjut Abdillah, yang perlu diperhatikan adalah dengan mengedapankan konsep Arsitektur Konservasi. Artinya adalah tetap memperhatikan kondisi alam dan lingkungannya dengan cara tak mengubah bentang alamnya.

"Silakan dibangun, akan tetapi hubungan dengan alam diperhatikan. Misal dibuat dengan konsep uumpak sehinga ada resapan air.  Diterapkan proporsi 70 persen bangunan sedangkan 30 persennya adalah daerah resapan. Mempertahankan bentuk asli dan tidak mengubahnya secara ekstrim," tandasnya.

Selanjutnya adalah dengan kembali melakukan gerakan agroforestri secara masif. Caranya dengan masyarakat diedukasi dan diajak untuk kembali menanam tanaman perkebunan di pekarangan belakang rumah.

"Kopi, durian, manggis atau tanaman buah-buahan yang sifat pohonnya bisa menjadi kanopi. Hasil buahnya dapat dinikmati juga dan manfaatnya dapat meminimalisir resiko kebencanaan," tandasnya.

 

INFOGRAFIS: 5 Negara Pemasok Beras Terbesar ke Indonesia (Liputan6.com / Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya