Liputan6.com, Tasikmalaya - Awalnya, angklung sered hanya menjadi salah bentuk seni pertunjukan yang ada di Kampung Balandongan, Desa Sukaluyu, Kecamatan Mangunreja, Kabupaten Tasikmalaya. Pada masa penjajahan Belanda 1908, angklung sered sudah mulai dikenal.
Menurut laman warisanbudaya.kemdikbud.go.id, dahulu angklung sered difungsikan sebagai sarana adu kekuatan antar para jawara yang akan memperebutkan daerah kekuasaan. Pada masa itu, keberanian laki-laki di Kampung Balandongan diuji dari perang tanding dengan mengadu kekuatan yang dibantu ilmu kebatinan.
Ilmu kebatinan tersebut biasa disebut 'magik', yakni senjata yang digunakan untuk mempertahankan ambisi dan harga diri. Dahulu, kematian karena hal ini juga bukan menjadi hal besar karena dianggap 'yang penting mati dikalang sejati'.
Baca Juga
Advertisement
Pada 1908-1917, angklung sered memang sudah banyak dikenal. Angklung sered dahulu juga berfungsi sebagai tangara (tanda) dan kalangenan (hiburan).
Pada 1918-1945, selain sebagai ajang adu kekuatan, angklung sered juga menjadi penyemangat perjuangan dalam menghadapi penjajah. Pada 1950 hingga sekarang, angklung sered pun berfungsi sebagai alat hiburan, baik untuk khitanan, perkawinan, maupun pangbagea tamu agung.
Sementara itu, perang angklung yang dimainkan zaman dahulu adalah mengadu kekuatan fisik, seperti pundak, betis, lengan, dan tangan. Hal tersebut dijuluki dengan istilah jogol munding.
Perang dilakukan dengan aksi saling dorong dengan kekuatan fisik. Biasanya, para peserta menggunakan jurus tertentu untuk mencapai kemenangan, seperti jurus hayam apung, belut putih, paleredan, dan cimande.
Dari cara saling dorong itulah akhirnya kesenian ini dinamakan angklung sered. Pertunjukan angklung sered biasanya diiringi dengan beberapa alat musik, seperti dua set angklung untuk dua kelompok.
Masing-masing kelompok terdiri dari 11 angklung dengan nada yang tidak beraturan. Selanjutnya, juga ada empat dogdog (tilingtit, tempas, dengdeng, dan bangbrang), satu set kendang, satu kempul/bende (gong ukuran sedang), dan tarompet sebagai pembawa melodi.
Penulis: Resla Aknaita Chak