Liputan6.com, Jakarta - Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Jarot Widyoko, mendapat laporan dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bahwa Indonesia bakal dilanda musim kekeringan panjang mulai Maret, hingga puncaknya pada Agustus 2023.
"Sudah kami ringkas, di bulan Maret ada 4 provinsi dimana intensitas hujan di bawah 100 ml. Ini sudah masuk kekeringan," kata Jarot dalam konferensi pers di JCC Senayan, Jakarta, Rabu (15/2/2023).
Advertisement
Jarot menyampaikan, jumlah itu akan terus bertambah jadi 8 provinsi pada April, 19 provinsi di Mei, 21 provinsi di Juni, dan 29 provinsi pada Juli. "Agustus itu musim yang paling kering nanti, kurang lebih 31 provinsi," ungkapnya.
Mengantisipasi itu, Kementerian PUPR tak ingin terlambat lakukan pencegahan dengan cara menginventarisasi sarana prasaran yang sudah ada. Terutama bendungan, dimana sejak Maret 2023 volume airnya akan diatur semaksimal mungkin.
"Sebagai contoh, kalau daerah tersebut masih hujan, itu ada juga masih yang musim hujan. Itu pintu kami buka. Kalau pintu kami buka pada saat terjadi hujan, bisa mengurangi banjir. Tetapi juga kalau daerah tersebut sudah masuk di dalam musik kemarau, kami akan tutup," jelasnya.
"Di sini sangat diperlukan adalah pengoperasian pintu-pintu bendungan," tambah Jarot.
Pengelolaan Bendungan
Di sisi lain, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono juga sudah membentuk Unit Pengelola Bendungan guna mensiagakan semua bendungan yang ada untuk meminimalisir dampak kekeringan.
Selain bendungan, pemerintah melalui Kementerian PUPR bakal melakukan kegiatan operasi dan pemeliharaan seluruh sumur eksisting yang ada, kurang lebih 3.230 titik di 20 provinsi. Plus merehabilitasi sumur-sumur eksisting sebanyak 25 titik di 12 provinsi.
Hal ini dilakukan lantaran tidak semua provinsi memiliki sumber air yang memadai untuk menunjang kebutuhan masyarakat di musim kemarau. Oleh karenanya, Kementerian PUPR juga menyiapkan skenario untuk melakukan pengeboran sumur-sumur baru di daerah kering air.
"Belum tentu di wilayah-wilayah 31 provinsi tadi di bulan Agustus ada sumber-sumber airnya. Maka kami koordinasi dengan ESDM, di situ ada CAT (cekungan air tanah) atau tidak," sebut Jarot.
"Jadi kami harapkan kami akan mulai bergerak mulai Maret, mengebor titik-titik yang diprediksi akan terjadi kekeringan. Kurang lebih 37 titik di 19 provinsi. Jadi ini jangan sampai sudah terjadi kekeringan, kami baru bergerak," tuturnya.
5 Miliar Orang di Dunia Diprediksi Hadapi Kekeringan Sebulan Penuh pada 2050
Sebelumnya, laporan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) terbaru memprediksi sekitar 5 miliar orang atau dua per tiga populasi dunia akan menghadapi kekurangan air selama setidaknya sebulan penuh pada 2050.
Hasil analisis Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) yang dirilis pada Selasa, 29 November 2022 mencakup proyeksi aliran sungai, banjir, dan kekeringan di dunia.
Perubahan iklim mengurangi tingkat aliran sungai dan mencairkan gletser karena suhu global 1,1C lebih tinggi daripada di masa pra-industri.
Daerah-daerah besar di seluruh dunia juga kondisinya lebih kering dari biasanya ketika pola hujan dipengaruhi oleh perubahan iklim.
Laporan yang berjudul The State of Global Water Resources for 2021, adalah tinjauan komprehensif pertama tentang sumber daya air oleh Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), mengutip Scientific American, Kamis (1/12/2022).
Laporan tersebut akan diterbitkan setiap tahun mulai tahun ini karena adanya permintaan data yang lebih akurat di tengah meningkatnya permintaan dan terbatasnya pasokan.
Laporan tersebut juga menyoroti bahwa pengukuran yang tidak konsisten dan kurangnya data yang dikumpulkan di lapangan menyulitkan untuk memahami beberapa efek perubahan iklim terhadap sistem air.
Pada Cop27, konferensi perubahan iklim PBB baru-baru ini yang diadakan di Mesir, pemerintah didesak untuk lebih mengintegrasikan air ke dalam upaya adaptasi.
"Dampak perubahan iklim dapat dirasakan melalui air. Kekeringan yang intens dan sering terjadi, banjir yang ekstrem, curah hujan yang tidak menentu, dan percepatan pencairan gletser akan terjadi. Semua terjadi bersamaan dengan efek cascading pada ekonomi, ekosistem, dan semua aspek kehidupan sehari-hari," kata Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas dalam rilisnya.
"Namun, tidak ada tidak ada data yang cukup untuk mengukur perubahan mengenai distribusi, kuantitas, dan kualitas sumber daya air tawar," tambah Taalas.
Advertisement
Prediksi Wilayah
Laporan setebal 36 halaman itu bertujuan untuk mengurangi kesenjangan pengetahuan dan memberikan gambaran ringkas terkait ketersediaan air di berbagai belahan dunia.
“Seperti halnya fenomena perubahan iklim lainnya, akan ada yang benar dan tidak. Meskipun, secara keseluruhan, kecenderungan negatif lebih kuat daripada yang positif,” tulis para penulis dalam laporan tersebut.
Di Amerika Serikat, misalnya, kekeringan yang berkelanjutan diprediksi akan berdampak lebih besar pada ketahanan air di Barat. Tetapi wilayah Great Lakes justru diperkirakan akan memiliki ketahanan air yang relatif tinggi karena wilayah ini berdekatan dengan lima danau air tawar terbesar di dunia.
Wilayah lain yang diperkirakan memiliki kapasitas penyimpanan air di atas rata-rata pada 2050 adalah daerah aliran sungai Niger di Afrika Barat, daerah Celah Afrika Timur, dan daerah aliran sungai Amazon bagian utara, ungkap para ilmuwan.
Kekeringan dan Ketahanan Air
Para peneliti mengatakan salju yang mencair dengan cepat dan es yang mencair di daerah-daerah dengan elevasi tinggi memiliki "dampak yang signifikan" pada ketahanan air global. Penggunaan air tanah untuk irigasi yang dapat diperparah oleh kekeringan dan menyusutnya waduk juga merupakan salah satu alasan terancamnya ketahanan air.
Temuan lainnya berdasarkan dengan rata-rata hidrologi selama 30 tahun mengungkapkan pada 2021 wilayah dengan aliran sungai di bawah rata-rata jumlahnya dua kali lipat lebih banyak dari jumlah sungai dengan aliran air di atas rata-rata.
Para ilmuwan mengaitkan kondisi tersebut dengan perubahan iklim dan peristiwa La Nina, pola osilasi atmosfer yang ditandai dengan variasi suhu air yang tinggi di Samudra Pasifik.
Antara 2001 dan 2018, PBB melaporkan bahwa 74 persen dari semua bencana alam terkait dengan air. Para pejabat mengatakan bahwa ini adalah pertama kalinya air dirujuk dalam dokumen COP yang mengakui pentingnya air.
Advertisement
Perubahan Kriosfer dan Aspek Kehidupan
Kriosfer terdiri dari semua air yang membeku di gletser, lapisan salju, lapisan es, dan permafrost. Seperti aliran sungai dan lelehan salju, kurangnya sumber daya air kriosfer memengaruhi ketahanan pangan, kesehatan manusia, dan integritas ekosistem.
Mereka juga meningkatkan kemungkinan banjir sungai dan banjir bandang akibat luapan danau gletser.
Menurut laporan berjudul State of the Cryosphere (Keadaan Kriosfer), yang dirilis oleh para ilmuwan pada awal konferensi COP27 PBB terbaru, krisis iklim telah menyebabkan es Arktik yang berkontribusi pada kenaikan permukaan laut.
Laporan tersebut menambahkan bahkan jika negara-negara mengurangi emisi mereka, gletser dunia akan terus mencair hingga jutaan tahun yang akan datang dan dapat menaikkan permukaan air laut hingga tiga meter.
Lautan es lebih banyak menyerap daripada memantulkan panas, dan karenanya akan berkontribusi lebih besar terhadap pemanasan global dan peningkatan suhu.
2021 lalu, Greenland mencapai suhu 40C (72F) di atas normal dan curah hujannya tinggi.
"Ini adalah diagnosis terminal dan sekarang kita harus hidup dengan konsekuensinya," kata Robbie Mallett, seorang ahli es laut di University College London Earth Sciences.