Liputan6.com, Jakarta Sejumlah sopir dengan muatan melebih kapasitas atau Over Dimensi Over Load (ODOL) memilih kucing-kucingan daripada harus masuk jembatan timbang yang dinilai bakal merugikan dirinya.
Menyikapi fenomena ini, pengamat Transportasi Djoko Setijowarno mengatakan salah satu solusi jembatan timbang yang banyak dikeluhkan sopir truk nya adalah segera merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). UU ini, disebut memberatkan para sopir.
Advertisement
“Salah satu solusinya adalah segera merevisi Undang-Undang LLAJ,” tukasnya, ditulis Rabu (15/2/2023).
Anggota Komisi V DPR RI Suryadi Jaya Purnama juga berpendapat serupa. Dia mengatakan kondisi yang dialami para sopir di jembatan timbang itu salah satu penyebabnya adalah karena payung hukum dari pelarangan ODOL itu masih belum diatur dengan baik. Dia pun menyarankan agar UU LLAJ segera direvisi.
“Sampai saat ini belum ada keseriusan pemerintah untuk merevisinya. Padahal banyak masalah yang harus kita buat aturannya sehingga kebijakan pelarangan ODOL itu bisa dijalankan dengan baik tanpa merugian semua pihak, termasuk para supir,” tukasnya.
Para supir truk seluruh Indonesia juga menyuarakan ketidakadilan yang selalu dialami mereka di lapangan terkait kebijakan pelarangan ODOL ini. Para pahlawan logistik ini meminta agar pemerintah segera merevisi UU LLAJ yang menjadi payung hukum untuk menindas mereka.
Seperti diketahui, dalam pasal 307 Undang-Undang Lalu Lintas Nomor 22 Tahun 2009 itu menyebutkan bahwa seorang pengemudi yang menggunakan kendaraan yang melebihi muatan atau ODOL itu dikenakan sanksi pelanggaran.
“Kami meminta agar Undang-Undang ini direvisi terlebih dulu sebelum membuat kebijakan Zero ODOL. Karena, jika tidak, kami akan selalu menjadi pihak yang tertindas. Kesalahan akan selalu ditujukan kepada kami para sopir,” ujar Koordinator Pengemudi Indonesia dan juga wilayah Sumatera, Sun Naryo, baru-baru ini.