Liputan6.com, Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai vonis 1 tahun 6 bulan yang dijatuhkan majelis hakim kepada terdakwa Richard Eliezer alias Bharada E telah menjadi tonggak penguat sistem justice collaborator di Indonesia.
"Putusan ini adalah putusan penting untuk penguatan sistem JC di Indonesia," kata Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu dalam keterangannya, Kamis (16/2).
Advertisement
Sebab, Erasmus menilai vonis 1 tahun 6 bulan Bharada E nyata lebih rendah dari terdakwa lain. Bahkan 8 kali jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) 12 tahun penjara, berkat buah kejujuran sebagai JC.
"Proses di pengadilan harus diapresiasi karena berhasil membongkar upaya rekayasa kasus dan obstruction of justice dalam perkara ini. ICJR secara khusus memberikan apresiasi kepada majelis hakim dengan putusannya yang secara tegas mengakui kedudukan Bharada E sebagai JC," katanya.
Di samping itu, kata Erasmus, peran dari jaksa penuntut umum (JPU) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah andil besar dalam melindungi Bharada E sebagai JC. Sehingga bisa menjadi gambaran kedepannya bagi JC dalam proses peradilan.
"ICJR berharap agar peradilan tetap terus konsisten memberikan perlakuan dan perlindungan khusus terhadap Bharada E sebagai JC sebagaimana yang dipraktikkan selama ini. Putusan majelis hakim pada kasus Bharada E ini merupakan praktik baik bagaimana pengadilan seharusnya memperlakukan JC.
"Dan harapannya juga dapat memotivasi JC-JC yang lain untuk berani membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap suatu tindak pidana," tambah dia.
Vonis
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan telah menjatuhkan vonis 1 tahun 6 bulan terhadap Richard Eliezer alias Bharada E dalam perkara pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Vonis yang dijatuhkan lebih ringan daripada tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) 12 tahun penjara. Menyimpan hal menarik, yakni dikabulkannya status Bharada E sebagai justice collaborator (JC) dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
"Sehingga layak terdakwa ditetapkan sebagai saksi pelaku yang bekerja sama, justice collaborator (JC) serta berhak mendapatkan penghargaan sebagaimana ditentukan pasal 10 a UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang perubahan UU Nomor 13 tahun 2006," kata Hakim Anggota, Alimin Ribut Sujono, saat bacakan vonis di PN Jakarta Selatan, Rabu (15/2).
Keputusan hakim itu nyatanya berbeda dengan sikap dari JPU yang memilih menolak permohonan yang dilayangkan LPSK atas rekomendasi dari LPSK tertanggal 11 Januari 2023 perihal rekomendasi pemberian hak dan penanganan khusus sebagai saksi pelaku yang bekerja sama atau JC.
"Majelis hakim melihat perkembangan keadilan di dalam masyarakat menghendaki bahwa whistleblower, saksi pelaku yang bekerja sama justice collaborator tidak semata mata didasarkan tindak pidana tertentu sebagaimana dalam SEMA nomor 4 tahun 2011," katanya.
"Akan tetapi mengacu pada tindak pidana pada kasus kasus tertentu sebagaimana ditentukan UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang perubahan UU Nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban," tambah dia.
Advertisement
Bukan Pelaku Utama
Hakim meyakini otak di balik penembakan Brigadir J adalah Ferdy Sambo dengan melibatkan Bharada E. Sehingga dalam perkara pembunuhan berencana ini, Bharada E tidak termasuk sebagai pelaku utama.
"Sekaligus melibatkan saksi lain termasuk terdakwa sehingga Ferdy Sambo dipandang sebagai pelaku utama. Meskipun terdakwa benar orang yang melakukan penembakan terhadap Josua termasuk pelaku tetapi bukan pelaku utama," tuturnya.
Sementara, Hakim juga meyakini atas peran dari Bharada E juga kasus Brigadir J akhirnya bisa terkuak. Sesuai perannya dalam memberikan keterangan konsisten dan logis dari yang berkesesuaian dengan alat bukti
"Sehingga sangat membantu perkara aquo terungkap meskipun untuk itu menempatkan terdakwa pada posisi dan situasi yang sangat membahayakan jiwanya mengingat terdakwa praktis berjalan sendirian," tuturnya.
Sumber: Bachtiarudin Alam/Merdeka.com