Liputan6.com, Jakarta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa anggota DPRD Jawa Timur (Jatim) Muhamad Reno Zulkarnaen. Ketua Fraksi Demokrat DPRD Jatim itu diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap pengelolaan dana hibah yang menjerat Wakil Ketua DPRD Jatim Sahat Tua Simanjuntak.
Saat pemeriksaan, Reno dicecar penyidik soal aturan dan pembahasan dana hibah. Kuat dugaan, Reno mengetahui banyak ihwal pembahasan tersebut.
Advertisement
"Kalau saksi dari DPRD sejauh ini dikonfirmasi soal aturan dan pembahasan dana hibah," ujar Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Kamis (16/2/2023).
Sementara itu, Ketua KPK Firli Bahuri memastikan jajarannya akan mengusut tuntas kasus ini. Khususnya, menelusuri keterlibatan legislator Jatim dalam pusaran rasuah tersebut.
"KPK masih terus bekerja dan tolong berikan waktu penyidik untuk menyelesaikan permintaan keterangan kepada semua pihak. Nanti pada saatnya, KPK pasti menyampaikan hasilnya ke rekan media dan publik," tegas Firli.
Reno sendiri hari ini diperiksa bersama empat anggota DPRD Jatim lainnya. Mereka antara lain, Achmad Sillahuddin yang juga menjabat Ketua Fraksi PPP DPRD Jatim.
Lalu, dua anggota DPRD Jatim dari fraksi PDI Pejuangan (PDIP) yakni Agus Wicaksono dan Wara Sundari Renny Pramana. Selanjutnya, Aliyadi dari fraksi PKB.
3 Tersangka Lainnya dalam Kasus Suap Dana Hibah
KPK menetapkan Wakil Ketua DPRD Jawa Timur (Jatim) Sahat Tua P Simanjuntak (STPS) sebagai tersangka kasus dugaan suap dalam pengelolaan dana hibah provinsi Jatim.
Selain Sahat, KPK juga menjerat tiga tersangka lainnya, yakni Rusdi selaku Staf Ahli Sahat, Kepala Desa Jelgung Kecamatan Robatal Kabupaten Sampang sekaligus selaku Koordinator Kelompok Masyarakat (Pokmas) Abdul Hamid, dan Koordinator Lapangan Pokmas bernama Ilham Wahyudi alias Eeng.
KPK menyebut, untuk tahun anggaran 2020 dan 2021 dalam APBD Pemprov Jatim merealisasikan dana belanja hibah dengan jumlah seluruhnya sekitar Rp 7,8 triliun kepada badan, lembaga, hingga organisasi kemasyarakatan (ormas) yang ada di Pemprov Jatim.
Distribusi penyalurannya antara lain melalui Kelompok Masyarakat (Pokmas) untuk proyek infrastruktur hingga sampai tingkat pedesaan. Terkait pengusulan dana belanja hibah tersebut merupakan penyampaian aspirasi dan usulan dari para anggota DPRD Jatim. Salah satunya adalah Sahat.
Sahat menawarkan diri membantu dan memperlancar pengusulan pemberian dana hibah tersebut dengan adanya kesepakatan pemberian sejumlah uang sebagai uang muka alias ijon. Kemudian Abdul Hamid menerima tawaran tersebut.
Advertisement
Sahat Diduga Dapat Bagian 20 Persen
Diduga Sahat mendapat bagian 20 persen dari nilai penyaluran dana hibah yang akan disalurkan, sedangkan Abdul Hamid mendapatkan bagian 10 persen. Adapun besaran nilai dana hibah yaitu di tahun 2021 dan 2022 telah disalurkan masing-masing sebesar Rp 40 miliar.
Agar alokasi dana hibah untuk tahun 2023 dan 2024 bisa kembali diperoleh Pokmas, Abdul Hamid kemudian kembali menghubungi Sahat dan sepakat menyerahkan sejumlah uang sebagai ijon sebesar Rp 2 miliar.
Realisasi uang ijon tersebut dilakukan pada Rabu, 13 Desember 2022 lalu, dimana Abdul Hamid melakukan penarikan tunai sebesar Rp 1 miliar dalam pecahan mata uang rupiah di salah satu Bank di Sampang dan kemudian menyerahkannya pada Eeng untuk dibawa ke Surabaya.
Eeng pun menyerahkan uang Rp 1 miliar tersebut pada Rusdi sebagai orang kepercayaan Sahat di salah satu mal di Surabaya. Setelah uang diterima, Sahat memerintahkan Rusdi menukar uang Rp 1 miliar tersebut di salah satu money changer dalam bentuk pecahan mata uang SGD dan USD.
Rusdi kemudian menyerahkan uang tersebut pada Sahat di salah satu ruangan yang ada di gedung DPRD Provinsi Jawa Timur. Sedangkan sisa Rp 1 miliar yang dijanjikan Abdul Hamid akan diberikan pada Jumat, 16 Desember. Diduga dari pengurusan alokasi dana hibah untuk Pokmas, Sahat telah menerima uang sekitar Rp 5 miliar.
Jerat Pasal
Atas perbuatannya, Abdul Hamid dan Eeng sebagai penyusp disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sementara, Sahat dan Rusdi sebagai penerima disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau b Jo Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Advertisement