Liputan6.com, Jakarta Presiden Bank Dunia David Malpass berencana untuk mengundurkan diri setahun sebelum masa jabatannya berakhir. Malpass akan melepas posisinya pada 30 Juni mendatang yang merupakan akhir tahun fiskal Bank Dunia, setelah menjabat selama lebih dari empat tahun.
Menyusul kabar pengunduran dirinya, melansir CNN Business, Jumat (17/2/2023), Malpass mengaku dia tidak menyesal menjalani masa jabatannya meski hanya selama empat tahun.
Advertisement
"Kita telah mencapai banyak hal yang saya inginkan…Saya pikir sangat penting bagi institusi untuk memiliki energi, energi baru, dan ini saat yang tepat bagi Bank Dunia untuk melakukan itu," ujarnya.
Sebelumnya, dalam pernyataan terkait pengunduran dirinya Malpass menyampaikan bahwa "Merupakan suatu kehormatan dan keistimewaan yang sangat besar untuk melayani sebagai Presiden lembaga pembangunan utama dunia".
"Dengan negara-negara berkembang yang menghadapi krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya, saya bangga Grup Bank Dunia telah merespons dengan kecepatan, skala, inovasi, dan dampak," tambahnya.
Dengan negara-negara berkembang yang menghadapi krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya, saya bangga Grup Bank Dunia telah merespons dengan kecepatan, skala, inovasi, dan dampak.”
Bank Dunia, sebuah kelompok yang terdiri dari 187 negara, meminjamkan uang kepada negara-negara berkembang untuk membantu mengurangi kemiskinan.
Mantan Presiden AS Donald Trump menunjuk Malpass sebagai kepala Bank Dunia pada tahun 2019 untuk periode lima tahun. Sebagai pemegang saham terbesar, Amerika Serikat secara tradisional menunjuk presiden badan keuangan internasional tersebut.
Selama masa jabatan Malpass, organisasi tersebut menanggapi berbagai krisis, termasuk pandemi global dan perang Rusia Ukraina. Bank Dunia mengatakan Malpass menerapkan rekor lonjakan keuangan sebagai tanggapan atas kedua krisis tersebut.
Di Bank Dunia, David Malpass juga fokus pada kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi beban utang pemerintah, dan membantu mengurangi kemiskinan.
Bank Dunia Bakal Tambah Kapasitas Pinjaman ke Negara Miskin Rp 60,7 T
Bank Dunia mengisyaratkan tengah mempertimbangkan mengambil lebih banyak risiko dengan menambahkan kapasitas pinjaman tambahan sebesar USD 4 miliar atau Rp. 60,7 triliun setiap tahun kepada negara-negara miskin yang membutuhkan dana untuk pencegahan perubahan iklim.
Melansir Channel News Asia, Jumat (17/2/2023) Malpass mengatakan lengan International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) dapat menurunkan rasio ekuitas terhadap pinjaman sebesar satu poin persentase menjadi 19 persen.
Manajemen Bank Dunia telah memeriksa proposal penurunan rasio ekuitas 19 persen dengan lembaga pemeringkat kredit, dan kemungkinan besar itu adalah hasil dari diskusi yang sedang berlangsung, menurut laporan seorang sumber yang mengetahui kabar tersebut.
Menurunkan rasio ekuitas terhadap pinjaman akan membebaskan lebih banyak sumber daya di tengah meningkatnya tantangan global, salah satunya dampak perang Rusia-Ukraina, kata Malpass.
Bank Dunia diperkirakan akan memutuskan langkah tersebut pada pertemuan di bulan April bersama Dana Moneter Internasional (IMF).
Sumber lainnya juga menyebut, dewan Bank Dunia telah melakukan pertemuan pada Kamis (16/2) untuk membahas proposal penurunan ekuitas dan opsi lain.
"Kami menyadari keputusan itu bisa diturunkan dengan cara yang berkelanjutan secara finansial," kata sumber tersebut.
Sementara itu, Amerika Serikat, yang merupakan pemegang saham terbesar Bank , tidak memberikan komentar terkait perubahan rasio yang diusulkan, tetapi telah mendorong Bank Dunia selama berbulan-bulan untuk mengambil langkah yang lebih berani dan cepat untuk membantu sumber daya yang sangat dibutuhkan.
Pada Desember 2022, IBRD memutuskan untuk menaikkan batas pinjaman tahunan berkelanjutan sebesar USD 2 miliar, dimulai pada tahun fiskal 2024, dan Malpass mengatakan mungkin ada beberapa perluasan lebih lanjut.
Plafon pinjamannya untuk tahun fiskal 2022 adalah USD 37,5 miliar.
Advertisement
Alasan Bank Dunia Pangkas Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Global 2023 Jadi 1,7 Persen
Bank Dunia melaporkan pertumbuhan ekonomi global akan melambat tajam menjadi 1,7 persen pada 2023. Ini akan menjadi laju ekspansi terlemah ketiga dalam hampir tiga dekade dan 1,3 poin persentase lebih rendah dari perkiraan sebelumnya.
Pelemahan ini terjadi karena pengetatan kebijakan moneter untuk mengatasi inflasi dan perang Rusia di Ukraina meredam prospek.
Dengan Amerika Serikat, kawasan Euro, dan China semuanya mengalami pelemahan, lembaga yang berbasis di Washington itu juga mengatakan guncangan negatif lebih lanjut, termasuk inflasi yang lebih tinggi, kenaikan suku bunga yang tiba-tiba untuk menahannya, dan kebangkitan kembali pandemi COVID-19, bisa mendorong ekonomi global ke dalam resesi.
"Pertumbuhan global telah melambat sejauh ekonomi global hampir jatuh ke dalam resesi - yang didefinisikan sebagai kontraksi dalam pendapatan per kapita global tahunan - hanya tiga tahun setelah keluar dari resesi yang disebabkan pandemi pada 2020," kata laporan setengah tahunan Prospek Ekonomi Global Bank Dunia seperti dikutip dari Antara, Rabu (11/1/2023).
Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan pulih menjadi 2,7 persen pada 2024, turun 0,3 poin dari proyeksi Juni.
Penurunan tajam dalam pertumbuhan kemungkinan akan meluas, dengan proyeksi pertumbuhan diturunkan untuk hampir semua negara maju dan sekitar dua pertiga dari emerging markets dan ekonomi berkembang pada 2023, dan sekitar setengah dari semua negara pada 2024.
Ekonomi AS
Pertumbuhan di Amerika Serikat diperkirakan melambat menjadi 0,5 persen tahun ini, 1,9 poin di bawah proyeksi sebelumnya, karena ekonomi terbesar di dunia itu mengalami pengetatan kebijakan moneter paling cepat dalam lebih dari 40 tahun untuk meredam kenaikan harga makanan dan energi, kata Bank Dunia.
Dengan inflasi yang diperkirakan akan moderat tahun ini karena pasar tenaga kerja melemah dan tekanan upah menurun, ekonomi AS kemungkinan akan tumbuh 1,6 persen tahun depan, direvisi turun sebesar 0,4 poin.
Di China, aktivitas ekonomi memburuk pada 2022, dengan konsumsi dibatasi oleh pembatasan di bawah kebijakan "nol-COVID" dan kekeringan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pertumbuhan diperkirakan akan meningkat menjadi 4,3 persen tahun ini karena pencabutan pembatasan pandemi melepaskan pengeluaran yang terpendam, turun 0,9 poin dari perkiraan Juni.
Untuk Jepang, pertumbuhan diantisipasi melambat menjadi 1,0 persen tahun ini, penurunan 0,3 poin dari Juni, setelah pertumbuhan 1,2 persen pada 2022, kata Bank Dunia, mencatat bahwa laju lamban akan terlihat "bersamaan dengan perlambatan ekonomi maju lainnya."
Negara Asia yang miskin sumber daya itu menghadapi tantangan karena harga energi yang tinggi mengikis daya beli rumah tangga dan mengurangi konsumsi, tambahnya. Produk domestik bruto riil Jepang diperkirakan akan tumbuh 0,7 persen pada 2024, 0,1 poin lebih tinggi dari yang diperkirakan pada Juni.
Advertisement