Liputan6.com, Chisinau - Parlemen Moldova telah menyetujui pembentukan pemerintahan pro-Barat yang dipimpin oleh perdana menteri baru, Dorin Recean (48).
Recean dinominasikan oleh Presiden Maia Sandu untuk menggantikan Natalia Gavrilita, yang pemerintahannya mengundurkan diri pekan lalu di tengah serangkaian krisis pasca invasi Rusia ke Ukraina.
Advertisement
Sandu telah berulang kali menuduh Rusia berusaha mengacaukan Moldova. Terbaru, pada Senin (13/2/2023), dia menuduh Rusia merencanakan penggulingan kepemimpinan negara itu, menghentikan proses yang ditempuh Moldova untuk bergabung dengan Uni Eropa (UE), dan memanfaatkan Moldova dalam perang melawan Ukraina.
Klaim Sandu itu muncul setelah pekan lalu badan intelijen Moldova melaporkan bahwa mereka mengidentifikasi kegiatan subversif pasca pengakuan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky yang menyebutkan, Kyiv telah mencegat rencana penghancuran Moldova oleh intelijen Rusia.
Fokus Hidupkan Kembali Ekonomi
Recean, perdana menteri baru, dilaporkan mengalihkan fokus dari upaya memerangi korupsi ke arah menghidupkan kembali ekonomi dan mempercepat reformasi untuk integrasi UE, setelah Moldova memperoleh status kandidat tahun lalu.
"Kita membutuhkan peluncuran kembali ekonomi yang lebih aktif dan cepat pasca kejatuhan ekonomi yang dramatis pada akhir tahun lalu dan kami memerlukan beberapa kebijakan yang seimbang dan cerdas untuk membantu bisnis, sambil mengendalikan inflasi," kata Valeriu Pasa dari think tank WatchDog seperti dikutip dari The Guardian, Jumat (17/2).
Inflasi di Moldova mencapai 30 persen, tertinggi di Eropa. Sementara gaji bulanan rata-rata hanya 9.900 leu. Sebuah survei baru-baru ini menunjukkan bahwa 44 persen populasi mengkhawatirkan perang di Ukraina, sementara jumlah yang lebih besar, yakni 48 persen mengkhawatirkan tingginya harga-harga.
Belakangan, banyak orang Moldova beremigrasi atau mempertimbangkannya.
"KPR saya dulu 1.500 leu per bulan dan sekarang saya membayar 8.500 leu," kata seorang warga bernama Victor (27).
Dengan bayi yang baru lahir, Victor berjuang untuk menutupi biaya hidup dengan bekerja sebagai sopir taksi di Chisinau. Dia menyalahkan pihak berwenang atas kenaikan suku bunga bank dari 6 persen menjadi 19 persen dalam dua tahun.
"Saya rasa mereka hanya ingin kita meninggalkan negara ini," ujarnya.
Yang lain menyalahkan Rusia atas krisis ekonomi.
"Kita butuh kesabaran," kata Mihail Stegarescu (65), seorang sopir minibus. "Harga-harga tinggi, tapi setidaknya pemerintah tidak berlutut di hadapan Putin – kenaikan biaya hidup dimulai dari dia."
Pasa menilai, meskipun tidak mungkin menjatuhkan pemerintah Moldova, namun Rusia masih dapat menebarkan ketidakstabilan lebih lanjut.
"Risiko upaya destabilisasi berukuran sedang. Mereka dapat menyebabkan kerusakan tetapi bukan penggulingan total negara," ungkap dia. "Pihak berwenang perlu lebih transparan untuk membuat orang sadar akan risiko keamanan."
Advertisement
Ketegangan Meningkat
Di jalan-jalan Chisinau dan sejumlah kota lain, ketegangan meningkat di tengah serangkaian insiden yang tidak biasa.
Wilayah udara Moldova ditutup sementara setelah pihak berwenang melihat benda terbang tak dikenal di dekat Kota Soroca dan puing-puing rudal dari serangan udara Rusia di negara tetangga Ukraina jatuh di dalam perbatasan Moldova.
Bahkan, pawai tahunan oleh para veteran Soviet di Afghanistan, di mana sekitar 13.000 orang Moldova bertempur, menyebabkan keresahan di tengah kekhawatiran bahwa negara itu dapat terseret ke dalam konflik di Ukraina.
"Saya mencoba menghindari menonton berita sekarang, kalau tidak saya tidak bisa tidur di malam hari. Ibu saya dulu menyukai Vladimir Putin dan sekarang dia berdoa untuk kematiannya setiap hari," ujar Svetlana (37), seorang penjahit dari pinggiran Kota Chisinau.
Menanggapi kegelisahan yang meningkat, patroli polisi telah ditingkatkan dan kementerian dalam negeri merilis peta tempat perlindungan bom.