Pelajaran Berharga tentang Respons Bencana dari Gempa Turki dan Suriah

Salah satu hal yang bisa jadi pelajaran penting dari gempa Turki dan Suriah adalah pentingnya edukasi kepada masyarakat tentang penyelamatan usai bencana datang.

oleh Chelsea Anastasia diperbarui 18 Feb 2023, 07:00 WIB
Kondisi jalan raya di distrik Pazarcik, kota Kahramanmaras, Turki pada Kamis 16 Februari 2023 setelah terjadinya gempa berkekuatan 7,8 magnitudo menghantam beberapa wilayah di Turki dan Suriah pada 6 Februari lalu. (OZAN KOSE/AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Gempa Turki dan Suriah berkekuatan 7,8 Magnitudo dan 7,6 Magnitudo pada Senin, 6 Februari 2023 menghancurkan sebagian besar juga menelan korban jiwa lebih dari 41 ribu. Belum lagi yang luka-luka lebih banyak.

Duka mendalam atas gempa besar tersebut juga turut menghadirkan pelajaran penting tentang respons bencana. Salah satunya, tentang sosok pertama yang menolong usai bencana terjadi. 

Segera setelah gempa dahsyat, di mana seseorang terjebak di rumah atau gedung kantor mereka yang runtuh dan menunggu bantuan, besar kemungkinan yang membantu bukanlah tenaga terlatih. Tetangga yang selamat bakal menjadi orang pertama yang berusaha menyelamatkan seperti dikatakan Forrest Lanning kepada NPR (National Public Radio).

"Karena merekalah yang ada di sana, tepat saat itu terjadi," lanjutnya.

Menurut Lanning, masyarakat harus memahami bahwa bantuan yang efektif seringkali didapatkan dari komunitas yang paling dekat. Tak peduli di manapun wilayah yang mengalami bencana.

Hal ini merupakan satu dari banyak pelajaran yang dimiliki oleh ahli-ahli yang mengamati bencana alam, seperti gempa Turki dan Suriah kemarin. 

Maka dari itu, menurut Lanning, salah satu langkah tanggap darurat yang sangat penting untuk menyelamatkan banyak nyawa adalah menyebarkan kesadaran tersebut.

Selain itu, perlu juga untuk melatih orang-orang agar dapat merespons dengan cara tepat ketika tim penyelamat profesional tidak datang dalam waktu cepat.

"Tentu saja peristiwa seperti ini benar-benar merusak, tetapi kejadian-kejadian ini mengingatkan kita akan pentingnya penelitian ilmiah, menerapkan penelitian itu melalui kode bangunan dan infrastruktur, menegakkan kebijakan, serta berbagi pengetahuan untuk menentukan respons aksi terbaik," sebut Lindsay Davis, manajer tim bantuan bencana gempa di US Geological Survey, kepada NPR.


Penyelamatan di Dua Hari Pertama Penting

Seorang pria berjalan di depan bangunan yang hancur di Samandag, selatan Hatay pada 16 Februari 2023, sepuluh hari setelah gempa berkekuatan 7,8 melanda wilayah perbatasan Turki dan Suriah. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meminta dana bantuan sebesar USD1 miliar atau Rp15,1 trilun untuk membantu para korban bencana gempa bumi di Turki yang menewaskan ribuan orang dan membuat jutaan lainnya sangat membutuhkan bantuan. (Yasin AKGUL/AFP)

Jumlah korban tewas di Turki dan Suriah yang kini lebih dari 40.000 mencerminkan pentingnya upaya pencarian dan penyelamatan dalam 12–48 jam pertama.

Kesempatan untuk menyelamatkan orang yang terjebak di bawah bangunan yang runtuh "akan mulai menutup dengan cepat dan pada saat Anda melewati hari keempat atau kelima, itu sudah selesai," kata Lanning.

Kesempatan untuk menyelamatkan orang yang terjebak di bawah reruntuhan akan semakin kecil kemungkinannya saat sudah hari keempat atau kelima. Bahkan, jika pengamat tak berhasil menarik seseorang keluar dari reruntuhan. 

“Jika orang yang melihat tidak dapat menarik seseorang keluar dari puing-puing, mereka masih dapat menunjukkan lokasi untuk para tenaga terlatih di mana orang-orang yang terjebak berada,” ucap Natalie Simpson, Ketua Manajemen Operasi dan Strategi di University at Buffalo School of Management.

Upaya respons, kata Natalie, akan diprioritaskan di wilayah yang telah ditemukan adanya korban yang masih hidup.

Berdasarkan pernyataan Lanning, dibutuhkan waktu yang cukup lama di setiap gedung karena harus mendengar suara pertolongan. Juga, berhati-hati saat membuang puing-puing bangunan untuk menyelamatkan korban.

 “Tim pencarian dan penyelamatan lokal di lapangan tidak cukup untuk merespons kondisi di setiap bangunan runtuh,” kata Lanning.

Kasus serupa terjadi di Samandağ, Turki. Dilaporkan oleh The Guardian, warga sipil berupaya menyelamatkan keluarga dan teman setelah gempa bumi. Setelah beberapa jam, kelompok kecil penyelamat datang, tetapi mereka kewalahan.

Mengetahui pentingnya bantuan lokal yang cepat, Tim Tanggap Darurat Komunitas dikembangkan di AS. Ini adalah program FEMA yang melatih sukarelawan di 50 negara bagian dengan keterampilan tanggap bencana dasar.

“Melalui program ini, sukarelawan mengajari hal yang harus dilakukan setelah gempa besar, seperti mendapatkan air setelah keadaan darurat, cara memeriksa tetangga yang tidak bergerak, dan cara mencari bangunan yang runtuh,” ucap Lanning.

Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap seberapa besar kemungkinan korban yang terjebak untuk bertahan hidup, seperti jenis cedera dan berapa banyak tim SAR yang ada di lokasi.

Lanning mencatat, jika korban yang terperangkap tidak terluka atau hanya mengalami luka ringan, mereka dapat bertahan hingga seminggu di bawah reruntuhan

Dan keajaiban memang nyata. Reuters melaporkan, tujuh orang di Turki yang selamat diselamatkan dari puing-puing lebih dari seminggu setelah gempa pertama.


Militer Bergerak Secepatnya

Orang-orang menyortir dan mengepak persediaan bantuan di tempat pengumpulan untuk komunitas Turki di Berlin, Jerman, Selasa, 7 Februari 2023. Ratusan anggota komunitas Turki di Berlin berbondong-bondong ke sekolah musik di ibu kota Jerman untuk menyumbangkan bantuan kemanusiaan setelah selatan Turki dan Suriah utara dilanda gempa bumi ganda pada Senin, 6 Februari 2023. (AP Photo/Markus Schreiber)

“Saya berharap setiap kali terjadi bencana, akan ada mobilisasi segera dari kru penyelamat dan militer. Hal itu tidak selalu terjadi, termasuk di Turki dan Suriah,” ucapNatalie Simpson dari University at Buffalo, Amerika Serikat.

Presiden Recep Tayyip Erdoğan mengakui bahwa Turki mengalami beberapa ketidaknyamanan yang menghalangi bantuan pada hari pertama tetapi bersikeras "situasinya terkendali” pada hari kedua dan ketiga.

Menurut Simpson, satu-satunya titik kegagalan terbesar dalam tanggap darurat adalah gagal untuk memahami fakta bahwa yang sedang terjadi adalah keadaan darurat.

Naluri orang pada umumnya adalah menunggu untuk mendapatkan lebih banyak informasi.

"Ini bukan kondisi normal dan salah satu jebakan yang membuat kita terjebak adalah perkataan, 'Apa hal terbaik yang harus dilakukan saat ini?' Hentikan dengan 'terbaik.' Semuanya baik-baik saja. Ayo mulai bergerak,” ucapnya.

Di banyak wilayah di seluruh dunia, termasuk Turki, militer paling siap untuk beroperasi di lokasi-lokasi bencana dan membuka lapangan terbang untuk mendapatkan bantuan segera, katanya.

Namun, menurut Middle East Institute, pemerintah Turki tidak berhasil untuk segera memobilisasi militernya untuk membantu upaya penyelamatan langsung, atau untuk mendirikan rumah sakit dan lapangan terbang.

“Turki adalah daerah rawan gempa yang rentan terhadap kehancuran dalam skala besar,” kata Simpson.

Menurut Simpson, tak pernah terlambat untuk pemerintah mengaktifkan respons berskala besar saat tidak mendapatkan informasi apa pun dari suatu wilayah.

"Saya rasa, itu akan menginspirasi pembuat keputusan di tempat lainnya. Aktifkan militer, segera. Semakin cepat dilakukan, semakin baik,” tambahnya. 

 


Pelajaran Lainnya

Davis dari Survei Geologi AS mengatakan, penelitian jelas mengatakan bahwa mitigasi dan pencegahan adalah yang paling efektif untuk meminimalkan kerugian akibat bencana. Di Turki, dapat jelas terlihat: apa saja yang hilang ketika tidak dilakukan upaya yang cukup baik untuk mengurangi risiko terhadap rumah dan warga sipil.

Lanning menyatakan, bencana terbaru ini menunjukkan betapa pentingnya bagi komunitas global di daerah rawan gempa untuk memperkuat infrastruktur guna menahan akibat-akibat dari bencana.

Gempa bumi besar yang melanda Turki pada tahun 1999 dan 2011 menjadi dua pelajaran bahwa konstruksi bangunan negara perlu diperbaiki untuk melindungi diri dari bencana. 

“Kerusakan banyak terjadi karena jenis konstruksi dan jenis bangunan sebagian besar adalah beton,” ungkap Lanning yang telah bekerja selama 15 tahun di berbagai daerah rawan gempa.

Menurut Lanning, meskipun faktanya bangunan beton bukan yang terbaik dalam menahan gempa, beton sangat mudah dibuat dan dapat dengan mudah menyembunyikan kecacatan.

Sebagian besar hal yang harus dilakukan untuk menganalisis bencana ini, serta apa kesalahannya dan langkah yang sudah tepat—akan dijalankan pada bulan-bulan dan tahun-tahun berikutnya. Lanning mengatakan, ini tugas pekerjaan yang sangat berharga.

Infografis Penyebab Gempa Turki Magnitudo 7,8 dan Lindu Dashyat Sebelumnya. (Liputan6.com/Trieyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya