Holding Perkebunan Nusantara Restui Indonesia Punya Bursa Berjangka CPO

Indonesia sebagai produsen terbesar CPO dunia, sudah semestinya memiliki harga acuan sendiri.

oleh Tira Santia diperbarui 03 Mar 2023, 00:31 WIB
Seminar bertajuk “Strategi Indonesia Menjadi Barometer Harga Sawit Dunia” di Jakarta, Kamis (2/02/2023). Holding Perkebunan Nusantara mendukung pembentukan bursa berjangka CPO.

Liputan6.com, Jakarta Holding Perkebunan Nusantara mendukung pembentukan bursa berjangka dalam negeri sebagai harga acuan crude palm oil (CPO) Indonesia, yang tengah dicanangkan Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan.

Hal tersebut, disampaikan Direktur Pemasaran Holding Perkebunan Nusantara PTPN III (Persero), Dwi Sutoro, saat menjadi pembicara dalam seminar bertajuk “Strategi Indonesia Menjadi Barometer Harga Sawit Dunia” di Jakarta, Kamis (2/02/2023).

Dwi menyampaikan, Indonesia sebagai produsen terbesar CPO dunia, sudah semestinya memiliki harga acuan sendiri.

“Karena menggunakan CPO international price sebagai acuan harga CPO domestik, sering tidak membuat keseimbangan penawaran dan permintaan didalam negeri, sehingga mengakibatkan ketidakstabilan harga CPO dalam negeri,”paparnya.

Menurut Dwi, bursa CPO yang ideal adalah bursa yang memiliki fungsi lengkap, yakni sebagai price discovery, price reference, dan hedging dari sebuah proses yang fair, efisien,transparan, dan terpercaya.

“Tentunya, ide membangun tata niaga komoditi CPO Indonesia melalui pengembangan bursa CPO Indonesia ini harus kita dukung dan diskusikan sebagai tahapan untuk membuat Indonesia menjadi barometer sawit dunia,” ujarnya.

Dwi menyampaikan, bahwa pembentukan tata niaga sawit, setidaknya harus mencakup empat aspek, antara lain aspek keadilan, efisiensi, nilai tambah, dan keberlanjutan.

“Keterlibatan pemerintah, BUMN, dan swasta, diharapkan bisa menciptakan sinergi yang positif dalam mendesain tata niaga sawit Indonesia yang adil, efisien,transparan, dan terpercaya,” ungkapnya.

Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian,Musdalifah Mahmud, menyampaikan, bahwa mewujudkan Indonesia sebagai barometer harga sawit dunia bukan sebatas cita-cita lagi.

“Tetapi Insyaallah akan segera tercapai,”ujarnya.

Saat ini, kata Musdalifah, Indonesia merupakan negara yang berkontribusi sebesar 55 persen terhadap minyak sawit dunia dan 42 persen minyak nabati dunia.

Oleh karena itu,dia optimistis, jika Indonesia bisa segera menjadi barometer harga sawit dunia. “Apalagi,dengan adanya konsistensi penerapan B35, stabilitas harga sawit juga semakin terjaga,”ujarnya.


Lawan Eropa di WTO, Kementan Siapkan Big Data Perkebunan Sawit

Tandan segar buah sawit petani di Riau. (Liputan6.com/M Syukur)

Kementerian Pertanian (Kementan) mengaku telah menyiapkan amunisi guna menggugat Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), soal UU Produk Deforestasi yang melarang impor produk seperti minyak sawit.

Direktur Jenderal Perkebunan Kementan Andi Nur Alamsyah mengatakan, pihaknya tengah menyiapkan strategi untuk memperjuangkan nasib produk dan petani sawit di WTO.

Antara lain, dengan membentuk big data perkebunan sawit hingga bursa sawit seperti yang sudah banyak didengungkan.

"Kami sedang menyusun rencana untuk menghadapi. Sekarang isu ketelusuran sedang kita bicarakan. Kita lagi membangun big data perkebunan, blockchain, sehingga hambatan-hambatan ekspor kita bisa tertangani, doakan saja," ujarnya di sela-sela Rakornas Kelapa Sawit 2023 di Jakarta, Senin (27/2/2023).

Langkah tersebut turut didukung penuh kelompok petani sawit. Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung optimistis Pemerintah RI akan menang melawan Uni Eropa di WTO.

"Optimis dong, karena ini adalah hak Indonesia untuk melakukan beberapa perlindungan terhadap hasil produksinya," ujar Gulat saat ditemui di sela-sela Rakornas Kelapa Sawit 2023.

Menurut dia, menggugat Uni Eropa jadi hukum wajib guna melindungi produk sawit dan turunannya. Bahkan, petani sawit disebutnya bakal beraksi bila pemerintah tak ikut campur tangan.

"Kalau pemerintah enggak gugat, kami yang akan gugat, petani sawit. Karena itu masalahnya adalah keadilan, keadilan itu setara, dan kita harus punya hak untuk itu," kata Gulat.

"Kalau pak Jokowi enggak gugat, negara enggak gugat, petani sawit yang gugat. Ini masalah pendapatan negara, harkat martabat yang diatur-atur oleh Uni Eropa. Faktanya, mereka butuh kok," tegasnya.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya