Liputan6.com, Jakarta Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) merilis kebijakan progresif menanggapi maraknya koperasi yang menjalankan bisnis tidak sesuai peruntukan. Kebijakan tersebut adalah moratorium perizinan usaha koperasi simpan pinjam (KSP).
Deputi Bidang Perkoperasian KemenKopUKM Ahmad Zabadi menjelaskan, kebijakan yang dituangkan dalam Surat Edaran Nomor 11 Tahun 2022 ini mengatur dua hal besar. Pertama tidak akan menerbitkan izin baru pendirian koperasi simpan pinjam. Kedua tidak mengeluarkan izin pembukaan kantor cabang baru untuk koperasi simpan pinjam.
Advertisement
"Moratorium ini diberlakukan untuk izin usaha baru koperasi simpan pinjam dan koperasi simpan pinjam yang akan membuka kantor cabang baru," kata Ahmad dikutip dari Antara, Jumat (17/3/2023). Moratorium ini berlaku 3 bulan sejak Februari hingga April 2023.
Moratorium izin usaha koperasi simpan pinjam sejatinya untuk melanjutkan kebijakan yang telah dilakukan KemenKopUKM lewat Surat Edaran Nomor 11 Tahun 2022 tentang Moratorium Perizinan Usaha Simpan Pinjam Koperasi. Jangka waktu kebijakan moratorium pun berlaku 3 bulan sejak dikeluarkan pada 17 November 2022.
Menurut surat edaran tersebut, moratorium dilakukan karena peran koperasi yang awalnya bertujuan baik, banyak disalahgunakan oleh oknum koperasi, khususnya yang memiliki usaha simpan pinjam.
“KemenKopUKM juga menemukan ada koperasi yang melaksanakan usaha simpan pinjam tidak sesuai dengan prinsip dan nilai dasar koperasi serta ketentuan yang berlaku,” ujarnya.
Menurut Zabadi, berdasarkan kondisi di atas perlu dilanjutkan kebijakan moratorium perizinan usaha simpan pinjam koperasi, termasuk izin pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan kantor kas usaha simpan pinjam koperasi.
Selain moratorium, KomenKopUKM juga sedang merumuskan rancangan Peraturan Menteri Koperasi dan UKM yang akan ditetapkan dalam waktu dekat, di mana salah satunya mengatur lebih lanjut terkait dengan perizinan usaha berbasis risiko sektor usaha simpan pinjam oleh koperasi.
Koperasi Sering Jadi Tempat Cuci Uang, tapi Jarang Dilaporkan ke PPATK
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menyadari ada dana-dana yang dikelola koperasi berpotensi sebagai aliran dana tindak pidana pencucian uang (TPPU). Bahkan, menurut data yang dimilikinya, praktik pelanggaran itu banyak yang tidak dilaporkan.
Menteri Teten berujar, mengacu regulasi yang ada, ketika ada potensi dana hasil pencucian uang, seharusnya dilaporkan ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Namun, pada praktiknya, hal itu tidak dijalankan oleh sebagian koperasi.
"Secara regulasi kami sudah punya Permenkop (Peraturan Menteri Koperasi dan UKM) yang mengatur bahwa koperasi itu kalau mencurigai ada dana-dana haram, dana-dana dari tindak pidana yang dicurigai harus dilaporkan ke PPATK," kata dia di kantor Kemenkop UKM, Rabu (15/2/2022).
"Jadi ada KYC-nya (know your customer) tapi ternyata banyaknya tidak melaporkan, ini mungkin yang akan kita benahi," sambungnya.
Aturan yang dimaksud Teten merujuk pada Permenkop Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Koperasi yang Melakukan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam.
Dalam pasal 15 beleid tersebut mewajibkan pengurus maupun pengelola koperasi melakukan prosedur customer due diligence (CDD). Ditegaskan dalam pasal 15 huruf c, jika terdapat transaksi keuangan tidak wajar yang diduga terkait dengan tindak pidana pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme.
Hal senada ditegaskan dalam Pasal 43 ayat (1) yang berbunyi Pengurus dan/atau Pengelola wajib menyampaikan laporan TKM, laporan TKT dan laporan lain kepada PPATK sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
Advertisement
Langkah Hukum dan Pencegahan
Lebih lanjut, Menteri Teten menjelaskan tetap akan berpegang pada proses hukum yang tengah berjalan yang menyangkut sejumlah koperasi. Dia juga menyiapkan langkah pencegahan terjadinya TPPU di lingkup koperasi kedepannya.
"Kami tahu tadi sudah dalam proses hukum ya, jadi nanti kita proses hukumnya akan terus patuh," kata dia.
"Kemudian nanti juga untuk preventifnya kami akan tingkatkan pengawasan dan latihan-latihan bagi pengawas koperasi termasuk juga petugas-petugas koperasi, pengawas koperasi di daerah-daerah di pemerintah kota ataupun kabupaten," tambah dia.
Teten menuturkan kalau saat ini koperasi merujuk pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Disana diatur kalau anggota koperasi mengawasi operasional koperasinya sendiri. Maka, untuk mencegah TPPU diperlukan ada pelatihan secara mendalam.