Liputan6.com, Jakarta Pengamat hukum pidana Universitas Indonesia (UI), Chudry Sitompul menilai keputusan jaksa yang tak mengajukan banding atas vonis Richard Eliezer memiliki nilai positif. Menurutnya, hal ini dapat mendorong lebih banyak pelaku kejahatan untuk bekerja sama dengan penegak hukum dalam membongkar sebuah perkara karena menjadi justice collaborator.
"Jaksa memang sepatutnya tidak (mengajukan banding) sehingga (dalam menangani) perkara-perkara lain, jaksa juga kalau ada orang mengikuti proses (JC) jangan dilakukan hukuman yang berat dan upaya hukum (banding) supaya beri dorongan (membongkar kasus)," tutur Chudry Sitompul, seperti dikutip Sabtu (18/2/2023).
Advertisement
"Kenapa kebijakan (banding vonis pengadilan) itu tidak diambil? Karena, saya kira, latar belakangnya, supaya orang mau menjadi justice collaborator," imbuhnya.
Chudry melanjutnya, hal tersebut selaras dengan prinsip politik hukum. Artinya, maksud dan tujuan dari hukum itu dibuat, dilaksanakan sudah tercapai.
"Nah, itu politik hukum," jelasnya.
Chudry pun mendukung agar Richard Eliezer dapat kembali meraih cita-citanya sebagai personel Korps Brimob.
"Mengingat divonis kurang dari 2 tahun. Saya pun mendukung jika eks ajudan Ferdy Sambo ini dikembalikan ke satuannya," urai dia.
Bukan tanpa alasan, Chudry mengatakan potensi masuknya Richard sebagai anggota Polri karena memiliki kejujuran yang tinggi sehingga semua misteri pembunuhan berencana di Duren Tiga dapat terungkap.
"Iya, kalau saya setuju Eliezer diterima kembali (di Polri). Kita, misalnya, melihat karena keterbukaan, kejujuran Eliezer, jadi terkuak sebenarnya (kasus yang terjadi) dan dibuka di persidangan," katanya.
Chudry melanjutkan, tidak adanya banding juga menunjukkan kejaksaan menghormati Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Di mana seorang justice collaborator dimandatkan mendapat hukuman ringan.
"Memang (vonis) ringan relatif, 1,5 tahun, 2 tahun, 3 tahun, 4 tahun. Tapi, bergantung pada keyakinan hakim, hati nurani hakim. Mungkin itu ada pengaruh keluarga korban sudah memaafkan Eliezer," ucapnya.
"Jadi, poinnya tepat (tidak mengajukan banding) walaupun kebijakannya kejaksaan itu kalau hakim memutus lebih rendah dari 2/3 tuntutan, maka JPU wajib ajukan banding," Chudry menutup.
Putusan Sudah Inkracht, Kejagung Siap Jebloskan Richard Eliezer ke Lapas
Kapuspenkum Kejaksaan Agung (Kejagung) RI, Ketut Sumedana menyampaikan pihaknya saat ini tengah menyiapkan persyaratan administrasi untuk proses eksekusi Richard Eliezer alias Bharada E.
Hal ini lantaran vonis 1 tahun 6 bulan majelis hakim telah berkekuatan hukum tetap alias Inkracht.
"ya kita tunggu dulu (masih proses administratif), eksekusi biasa tinggal keluar surat eksekusi," kata Ketut saat dihubungi, Jumat (17/2/2023).
Dia menjelaskan, surat eksekusi nantinya akan dikeluarkan Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan untuk selanjutnya ditindaklanjuti oleh jaksa eksekutor.
"Nanti (Surat) kita yang keluarkan dari Kejari. Oh iya, lewat jaksa eksekutor ya," jelas Ketut.
Apabila semua proses administrasi telah selesai, lanjut Ketut, Bharada E akan segera dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sesuai dari surat yang nanti dikeluarkan Kejari Jakarta Selatan.
"Iya administratif saja ya. Entar kita tempatkan ke lembaga pemasyarakatan mana untuk dituju," kata dia.
Kendati demikian untuk lokasi lapas, Ketut belum bisa menjawab dimana pastinya lapas yang akan ditempati Bharada E untuk menghabisi masa hukuman untuk nantinya dipindahkan dari Rutan Bareskrim.
Sebelumnya, Kejagung menyatakan tak mengajukan banding terkait keputusan majelis hakim yang memvonis 1,5 tahun penjara Bharada E alias Richard Eliezer Puhihang Lumiu.
Kejagung menyebut putusan dijatuhkan majelis hakim terhadap Bharada E itu sudah berkekuatan hukum tetap alias Inkracht.
"Jadi bahan pertimbangan juga bagi Kejagung untuk tidak menyatakan banding, sehingga putusan ini saya dengar penasihat hukum dari pada Richard Eliezer kami tidak menyatakan banding, dan kami tidak banding, inkrachtlah putusan ini sehingga mempunyai kekuatan hukum tetap," ujar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Fadil Zumhana melalui press rilisnya di Jakarta, Kamis (16/2/2023).
Sejatinya Fadil mengatakan, jaksa dapat mengajukan banding atas putusan hakim dengan tenggat waktu selama 14 hari.
Dengan rincian tujuh hari menyatakan sikap sambil menyerahkan memori pernyataan banding sebagaimana tertuang dalam pasal 233, 234 KUHAP Bab 17 KUHAP yang disebutkan 'Penuntut umum ataupun terdakwa berhak mengajukan upaya hukum'.
"Artinya putusan hakim bisa tidak diterima oleh terdakwa, bisa tidak diterima oleh jaksa. Karena dalam menilai suatu keputusan punya sisi nilai masing-masing, terdakwa dan jaksa bisa banding," ujar Fadil.
Advertisement
Sudah Minta Maaf
Namun Fadil melihat bagaimana perkembangan terhadap proses persidangan kasus tersebut, salah satunya Bharadz E meminta maaf secara langsung kepada orangtua Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Permintaan maaf itu disambut baik dan diterima secara ikhlas.
Fadil menilai perkataan 'maaf' merupakan hal terpenting dalam proses suatu keputusan bagi majelis hakim. "Di mana itu terlihat dari ekspresi menangis, bersyukur diputus hakim seperti itu," ujar dia.
Atas dasar tersebut pula, Fadil mengatakan, jaksa tidak akan mengajukan banding terhadap vonis dijatuhkan terhadap Bharada E. Jaksa menghormati semua putusan diberikan majelis hakim.
"Jadi kami dalam hal ini tidak melakukan upaya hukum banding," tegas dia.