Liputan6.com, Jakarta Duka cita beberapa hari lalu mengalir di media sosial, dikabarkan Aji Rachmat Purwanto, pendiri sekaligus Ketua Yayasan Sioux Ular Indonesia meninggal dunia, Selasa dini hari (14/2/2023) pukul 01.32 Wita di RS Ulin Banjarmasin.
Kabar kematian Aji dibenarkan Pembina Yayasan Sioux Ular Indonesia Edwin Firdiansyah. Aji mengembuskan napas terakhir setelah dirinya digigit King Cobra. Peristiwa itu terjadi pada Minggu (12/2/2023) saat Aji sedang mengisi acara Basic Training Muscle (BTM).
Advertisement
Belajar dari kejadian di atas, memicu pertanyaan, Indonesia punya anti bisa ular atau penawar racun ular apa saja? Apakah sudah ada anti bisa khusus gigitan King Cobra?
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia, Siti Nadia Tarmizi mengatakan, Indonesia baru mempunyai tiga jenis anti bisa atau anti venom. Stok anti venom masih tersedia di pusat.
Tiga jenis anti venom yang dimaksud antara lain, King cobra antivenom, Neuro polivalent (Thailand) anti venom, dan Daboia Siamensis anti venom.
Untuk tahun 2023, anti venom ular yang ada di pusat segera didistribusikan ke provinsi oleh Kemenkes.
"Saat ini, anti venom yang kita beli baru ada di pusat. Itu pun baru tiga jenis anti venom, Untuk pengadaan yang tahun 2023, anti venomnya akan langsung didistribusikan ke provinsi," kata Nadia dalam keterangan yang diterima Health Liputan6.com melalui pesan singkat pada Sabtu, 18 Februari 2023.
Serum Anti Venom Produksi Indonesia
Ahli toksinologi Tri Maharani menyebut, Indonesia sendiri memproduksi anti venom untuk tiga jenis ular.
“Indonesia sebagai sarang ular hanya memiliki tiga jenis ASV (Anti-Snake Venom) untuk mengobati gigitan ular kobra Jawa (Spitting cobra), ular welang (Banded krait), serta ular tanah (Malayan pit viper)," ujarnya, dikutip dari laman Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Jawa Timur.
Padahal, Indonesia merupakan kawasan yang menjadi habitat alami bagi ular. Hingga saat ini, terdapat sekitar 360 jenis ular, meliputi 77 ular berbisa yang tersebar di penjuru negeri seperti Pulau Jawa dan Sumatera.
Menurut data yang dikumpulkan Maha, sapaan akrabnya sejak tahun 2012, kasus gigitan ular di Indonesia mencapai 130.000 per tahun. Jumlah tersebut meningkat menjadi 135.000 orang pada tahun 2016.
Dari semua kasus, 728 orang di antaranya, merupakan korban dari gigitan ular berbisa, sedangkan jumlah korban meninggal tercatat sebanyak 35 orang.
"Berarti masih ada puluhan ular lain yang belum ter-cover (anti venom). Oleh karena itu, perlu dilakukan riset yang bersifat genomic dan molekuler. Prosesnya tidak mudah,” terang Maha.
Advertisement
BioSAVE, Anti Bisa Ular buatan Bio Farma
Indonesia telah memproduksi Serum Anti Bisa Ular (SABU) Polivalen yang diproduksi oleh PT Bio Farma yang bernama BioSAVE. SABU Polivalen adalah antisera murni yang dibuat dari plasma kuda yang memberikan kekebalan terhadap bisa ular yang bersifat neurotoksik.
Serum ini untuk penanganan gigitan ular dari jenis Naja sputatrix - Ular Kobra Jawa, Bungarus fasciatus - Ular Belang, dan yang bersifat hemotoksik, yakni ular Agkistrodon rhodostoma - Ular Tanah, sebagaimana informasi dari laman Bio Farma.
Ketiga ular di atas termasuk paling banyak ditemukan di Indonesia. SABU Polivalen mengandung fenol sebagai pengawet dan serum anti bisa ular mengandung antibodi. Serum Anti Bisa Ular Polivalen berupa cairan bening kekuningan.
Indikasi utama Serum Anti Bisa Ular (SABU) diberikan kepada pasien, yang dicurigai atau terbukti digigit ular berbisa, dan telah menunjukkan satu atau lebih tanda klinis manifestasi racun ular. Pemberian dosis sebesar dua vial, sebagai cairan infus dalam larutan normal saline.