Liputan6.com, Jakarta - Mega dan suaminya sudah berumah tangga selama tiga tahun. Pasangan suami istri yang tinggal di Kabupaten Bogor, Jawa Barat ini sudah bersepakat memilih childfree atau tidak memiliki anak dalam pernikahan mereka.
Mega menyebut childfree merupakan pilihan masing-masing orang atau pasangan layaknya yang ingin mempunyai anak. Kedua pilihan tersebut dinilai memiliki konsekuensi dan tantangan masing-masing. Dan pilihan childfree sudah diyakini Mega jauh sebelum dirinya menikah.
Advertisement
Bahkan, setiap mencari jodoh atau pasangan, Mega mengutamakan lawan jenis yang memilih childfree. Seperti halnya ketika bertemu dengan suaminya enam tahun yang lalu.
"Jadi, waktu PDKT atau pun kita pendekatan itu aku sudah bahas, aku sudah terbuka dengan masalah itu (childfree)," kata Mega kepada Liputan6.com.
Wanita berusia 27 tahun itu mengaku tak ada keinginan merawat seorang anak dan menjadi ibu. Alasan utamanya bukanlah mengenai keuangan ataupun trauma masa lalu. Namun mengenai tanggung jawab orang tua kepada anak yang dinilai sangat besar.
Mulai dari tanggung jawab moral hingga pendidikan sang anak di masa mendatang. Sebagai orang yang spontan dalam melakukan aktivitas, Mega lebih senang mengurus dirinya sendiri dan suami.
"Saya orangnya spontaneous juga, jadi mungkin enggak cocok sama lifestyle saya juga. Saya tipe orang yang suka berlibur, saya suka pergi tanpa perencanaan yang matang. Saya sering liburan kapan aja saya mau. Bahkan dari pekerjaan pun saya tidak terikat," ucapnya.
Dia juga mengaku keluarganya tidak mempermasalahkan keputusannya bersama suami. Begitu juga dengan keluarga suaminya. Keputusan dikembalikan kepada Mega dan suaminya.
"Karena menurut orang tua saya, tugas mereka sudah selesai untuk merawat saya. Sudah memberikan bekal yang cukup, yaitu pendidikan. Saya sudah bisa mencari rezeki saya sendiri, saya sudah bisa mandiri, sudah bisa bertanggung jawab akan diri saya sendiri, saya udah membiayai diri saya sendiri. Mereka mengembalikan keputusan dalam hidup saya," paparnya.
Takut Anak Jadi Pelampiasan
Mega tidak menyangkal, sering kali mendapatkan tanggapan yang kontra dengan pilihannya untuk childfree. Seperti halnya dianggap bukan perempuan seutuhnya karena tidak memiliki anak. Kemudian anggapan mandul juga sering kali dilontarkan oleh beberapa orang.
"Kalau menurut aku, wanita tetaplah wanita walaupun dia enggak punya suami, wanita tetaplah wanita walaupun dia enggak pengen punya anak, tetap aja wanita seutuhnya. Menurut aku menjadi seorang ibu itu adalah pilihan," Mega menandaskan.
Sementara itu, Aulia dan suami, meskipun belum berkeinginan memiliki anak, tak mau disebut childfree. Pernikahan dia bersama suami baru berjalan tiga tahun. Dia mengaku ada beberapa hal yang membuatnya bersama suaminya melakukan penundaan.
Salah satunya karena merasa tidak cocok untuk mengurus anak. Misalnya ketika kondisi pulang kerja yang capai dan harus merawat anak di rumah. Aulia khawatir anaknya menjadi korban pelampiasannya. Selain itu, ibu kandung Aulia tidak yang memaksa anaknya untuk segera mendapatkan momongan.
"Aku sama suami belum berani menyatakan kalau kami childfree, tapi masih banyak banget pertimbangan buat punya anak. Dibilang masih ingin punya anak ya masih, lebih belum kebayang ribetnya," kata Aulia kepada Liputan6.com.
Childfree Bukan Bentuk Anti kepada Anak-Anak
Pembahasan mengenai childfree ramai di media sosial pada beberapa hari terakhir. Hal tersebut ramai lantaran sejumlah pernyataan seorang konten kreator yang menjadi perdebatan warganet.
Childfree merupakan istilah ketika seseorang atau pasangan suami istri memilih untuk tidak memiliki anak. Psikolog klinis & Co-Founder Ohana Space Veronica Adesla menyebut childfree merupakan pilihan seseorang atau pasangan suami-istri. Pilihan tersebut sebenarnya bukanlah hal yang baru di masyarakat.
Veronica menyatakan biasanya seseorang yang memilih childfree bukanlah orang yang anti anak-anak atau tidak mau mengasuh sama sekali. Hanya saja orang tersebut tidak mengandung dan melahirkan anak.
Biasanya, ada beberapa alasan seseorang atau pasangan memilih untuk childfree. Salah satunya adalah tidak kehilangan kebebasan dari masa-masa ketika belum memiliki anak.
"Ada kebebasan-kebebasan yang hilang, ini yang bisa jadi pertimbangan kenapa kemudian childfree. Kemudian yang lain mereka merasa dunia ini enggak nyaman dan aman untuk bisa membesarkan seorang anak. Belum lagi secara mental bermasalah," kata Veronica kepada Liputan6.com.
Faktor lainnya yaitu adanya trauma dari salah satu pasangan. Karena itu Veronica juga menyarankan agar melakukan konseling pernikahan. Kegiatan tersebut dinilai tidak hanya sebagai persiapan sebelum pernikahan, tetapi juga membantu pasangan untuk menyelesaikan konflik dalam rumah tangga.
Veronica menguraikan ada beberapa pertimbangan yang harus dilakukan jika seseorang berencana memilih childfree. Hal yang pertama yaitu mengetahui alasan utamanya. Misalnya ada kecemasan, kekhawatiran, hingga ancaman di masa mendatang.
Karena itu dia meminta agar orang atau pasangan tersebut dapat melakukan diskusi keresahan tersebut bersama pakar profesional seperti halnya psikolog hingga psikiater. Diskusi itu dimaksudkan untuk membantu pemeriksaan mengenai kekhawatiran atau kecemasan yang dialami.
"Apakah ini karena kecemasan berlebihan atau memang ini karena sesuatu uang objektif. Jadi, punya teman diskusi apalagi kalau memang sama profesional itu untuk bisa melihat secara netral. Seperti itu. Jadi, yang pertama diketahui adalah reason-nya apa, alasannya apa. Kemudian kalau memang butuh bantuan untuk diskusi, diskusilah dengan professional," papar dia.
Lalu rencana childfree juga harus didiskusikan dengan pasangannya dan diputuskan bersama. Sebab childfree tidak hanya mengenai diri sendiri namun juga dengan pasangan. Kemudian pertimbangan mengenai konsekuensinya.
Sebab ketika memilih childfree, seseorang atau pasangan akan kehilangan kesempatan melewatkan momen-momen bahagia, berharga bersama anak. Lalu masa tua yang kemungkinan akan hidup sendiri. Yakni antispasi kesepian di masa tua juga harus dipikirkan.
"Ini yang harus dipikirin dari awal, ini konsekuensi. Belum lagi orang nanya, orang kemudian kayak nge-judge, itu kita harus siap. Tanpa kita merasa kalau kita udah mempertimbangkan dan kita siap, artinya emosi kita lebih stabil karena tahu itu konsekuensi yang dihadapi dan kita tidak tergoncang," ucapnya.
Advertisement
Stigma Tidak Positif Childfree Tak Hanya di Indonesia
Kendati begitu, Veronica menilai bahwa keputusan untuk childfree biasanya tidak berlaku final. Atau seseorang atau pasangan yang memilih childfree dapat mengubah keputusan tersebut di masa mendatang.
"Perjalanan terus berjalan. Jadi, kalau pun orang di sewaktu-waktu ada yang bilang gue mau childfree aja, tapi ternyata di periode waktu ke depannya, dia ternyata memutuskan untuk punya anak, boleh enggak, boleh aja. Karena berarti ada sesuatu perubahan yang terjadi," jelas Veronica.
Pengamat Sosial Universitas Indonesia, Devie Rahmawati menyatakan jika childfree bukanlah fenomena baru dan hal lumrah terjadi di masyarakat. Childfree sudah berkembang sejak abad ke-16 di Eropa atau mulai adanya perkembangan industri.
Saat itu orang sudah mulai fokus untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Dalam industri tersebut membutuhkan waktu yang tertata dan profesional.
"Sehingga orientasi kehidupan banyak difokuskan pada upaya memenuhi kebutuhan ekonomi tadi karena semua menjadi serba cepat," kata Devie kepada Liputan6.com.
Kemudian adanya dampak dari demokratisasi. Misalnya pendidikan yang semakin membaik. Sehingga orang semakin memiliki cara pemikiran yang baru mengenai anak dalam sebuah hubungan keluarga.
"Anak itu sebuah pilihan, bukan sebuah kewajiban. Apalagi perempuan-perempuan yang memang menjadi pusat dari kelahiran manusia tadi kemudian juga makin banyak yang sekolah, makin banyak kesadaran baru, sehingga kemudian secara sadar memilih untuk tidak memiliki anak dengan berbagai alasannya," papar dia.
Karena itu, Devie menilai bahwa banyak pasangan di Indonesia yang mempraktikkan hidup tanpa anak. Hanya saja tidak terbuka seperti saat ini dengan kemudahan media sosial. Indonesia memiliki tradisi dan kultur kompleks yang membuat childfree banyak pertentangan.
Namun dengan adanya media sosial masyarakat luas jadi mengerti adanya berbagai pandangan orang yang memilih childfree.
"Artinya, orang yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, itu hal pertama yang kemudian membuat media sosial memiliki peran untuk memberikan atau membuka wacana tentang childfree. Karena media sosial menjadi ruang publik yang terbuka maka orang yang tadinya mungkin tidak terpikir jadi terpikirkan, lalu yang tadinya tidak mau membicarakan jadi membicarakan," ujar Devie.
Lanjut dia, stigma negatif mengenai childfree tidak hanya terjadi di Indonesia. Sebab secara umum masyarakat dunia menganut paham pro kelahiran. "Pro bahwa memang pernikahan itu menjadi cara untuk bisa kemudian memastikan keberlangsungan peradaban dengan kehadiran anak," ucapnya.
Sementara itu Devie memperkirakan fenomena childfree akan berkembang di Indonesia meskipun tidak se-ekstrem negara luar negeri lainnya. "Sangat mungkin kemudian kita menyusul negara-negara lain seperti Jepang atau Amerika dan sebagainya yang memang jumlah orang yang menganut keyakinan akan childfree itu sudah semakin banyak," tandas dia.
Masyarakat Diminta Melakukan Perencanaan Pernikahan
Beberapa waktu lalu, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyikapi maraknya isu mengenai pilihan hidup childfree atau keinginan untuk tak memiliki anak setelah menikah. Hasto menyampaikan, BKKBN memandang isu yang viral di media sosial itu sebagai hal yang bisa mendorong publik untuk lebih mengenal hak-hak reproduksi baik pria maupun wanita, serta tanggung jawab suatu pasangan dalam satu keluarga.
Fenomena tersebut, menurut Hasto tentunya tidak bisa lepas dari perspektif sosial dan budaya yang terbentuk di masyarakat, di mana umumnya mereka telah memasuki usia dewasa akan menikah, dan selanjutnya memiliki anak.
"Di sinilah pentingnya setiap pasangan calon pengantin sebaiknya melakukan perencanaan pernikahan agak memiliki visi dan misi pernikahan yang sama,” kata Hasto Wardoyo.
Hasto menekankan, melalui perencanaan pernikahan yang kuat, termasuk dengan mengikuti kursus pranikah, calon pasangan dapat mengetahui konsep ideal pernikahan, mulai dari usia pernikahan ideal, kesiapan finansial, fisik, mental dan emosi, hubungan antarpribadi (interpersonal), keterampilan hidup (life skill), sampai dengan kesiapan intelektual.
“Berbagai bekal dalam perencanaan pernikahan melalui kursus pranikah itu dapat menjadi modal dalam pengambilan keputusan untuk memiliki anak atau tidak, serta hal-hal lain saat menjalani kehidupan berkeluarga. Namun, keputusan untuk memiliki anak atau tidak merupakan hak dan pilihan dari masing-masing pasangan,” ucapnya.
Hasto menguraikan, penyebab seseorang atau suatu pasangan tidak ingin memiliki anak, dapat digolongkan dalam dua kluster besar. Pertama yaitu pilihan atau keinginan sendiri. Kedua, karena suatu akibat, misalnya karena faktor kesehatan, atau faktor lain yang tidak diketahui sehingga tidak dapat memiliki anak.
Lanjut Hasto, kedua penyebab tersebut juga meliputi berbagai aspek seperti kondisi fisik, psikologis, ekonomi, sosial, dan budaya.
"Selain itu, ketakutan akan proses kehamilan ataupun melahirkan, dapat juga mendorong orang untuk mengambil keputusan untuk tidak memiliki anak," ujarnya.
Hasto mengingatkan, dampak childfree akan berpengaruh pada struktur penduduk di suatu negara. Kondisi tersebut juga akan berdampak pada rasio ketergantungan atau rasio beban tanggungan yaitu angka yang menyatakan perbandingan antara banyaknya penduduk usia non produktif (penduduk di bawah 15 tahun dan penduduk di atas 65 tahun) dengan banyaknya penduduk usia produktif.
“Semakin berat beban yang ditanggung oleh penduduk usia produktif karena harus mengeluarkan sebagian pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan penduduk usia non produktif, dan sebaliknya. Keadaan ini tentu saja dapat menjadi indikator maju atau tidaknya ekonomi suatu negara," jelas Hasto.
Advertisement
Ketika Keuangan Dianggap Jadi Alasan Childfree
Master Financial Planner Safir Senduk membenarkan, dalam sebuah rumah tangga akan semakin banyak pengeluaran ketika banyak makhluk hidup di dalamnya. Namun dia tidak setuju jika permasalahan keuangan menjadi salah satu faktor seseorang memilih childfree.
"Jadi saya sering melihat bahwa seringkali orang memutuskan untuk punya anak, pertimbangannya memang emosional, psikologis, memang bukan uang. Karena kalau mau bicara penghematan, jelas makin sedikit makhluk hidup di rumah kita, makin hemat kita. Tapi sekali lagi, mana yang lebih kuat dari diri kita, emosional, psikologis, atau kah pengeluaran," kata Safir kepada Liputan6.com.
Jika bermasalah mengenai pengeluaran, Safir meminta masyarakat untuk tidak mengkhawatirkannya. Sebab kata dia, seseorang dapat melakukan penghematan asal mengetahui cara mempersiapkannya.
Salah satunya dengan melakukan perencanaan keuangan sebaik mungkin yang dilakukan oleh pasangan suami istri. Kemudian menyarankan agar masyarakat atau orang tua untuk menyiapkan simpanan dan investasi.
"Kuncinya sebenarnya ada dua hal cash flow kita bagus, semakin tinggi mungkin juga semakin bagus, tapi yang paling penting simpanan. Kedua hal ini harus diperhatikan untuk selalu kita miliki," ucapnya.
Selain itu yaitu melakukan penghematan pengeluaran bulanan. Misalnya menghemat pembelian-pembelian besar, hingga traveling atau healing yang dilakukan setiap bulan.
"Jadi menurut saya, childfree bukan jadi alasan satu-satunya untuk kita bisa menghemat pengeluaran, ada banyak hal yang bisa kita lakukan, dan itu tidak harus dengan childfree," ucapnya.
(Brigita Purnama)