Liputan6.com, Kampala - Pada 21 februari 2004, telah terjadi sebuah tragedi bersejarah di Kampala, Uganda. Puluhan pemberontak yang bersenjata senapan serbu, artileri dan granat berpelontar roket, menyerang kamp pengungsi di Uganda utara. Para pemberontak ini menembak orang-orang saat mereka melarikan diri dan membakar orang lain hidup-hidup di gubuk mereka. Setidaknya ada 192 orang yang dibunuh dan melukai puluhan lainnya, kata legislator daerah itu, Minggu (22/2).
Serangan yang terjadi pada Sabtu malam di kamp Barloonyo di distrik Lira.
Advertisement
Saat para pemberontak mengepung kamp dari tiga sisi, banyak penduduk lari ke gubuk mereka untuk melarikan diri. Bukannya selamat, para penduduk ini justru malah dibakar rumahnya oleh pemberontak tersebut, kata legislator Charles Anjiro.
"Ini situasi tanpa harapan, kami pergi ke sana pagi ini dengan komandan polisi distrik Lira dan secara fisik menghitung 192 mayat,” kata Anjiro kepada the associated press melalui telepon dari kota Lira, 26 kilometer dari selatan kamp.
“Adegannya sangat mengerikan," ucapnya kembali
Dr Jane Aceng, kepala rumah sakit Lira, mengatakan 56 orang di bawa ke rumah sakit dengan luka bakar, pecahan peluru, dan luka tembak, salah satunya meninggal hari Minggu (22/2).
Juru bicara Angkatan Darat Mayor Shaban Bantariza membenarkan serangan itu, tetapi mengatakan dia tidak mengetahui jumlah korban tewas.
Dia mengatakan ada kemungkinan lebih dari 100 orang tewas di kamp, yang merupakan rumah bagi sekitar 5.000 orang yang melarikan diri karena pemberontakan, yang memaksa lebih dari 1 juta orang meninggalkan rumah mereka.
Kamp di Jaga oleh Anggota Pasukan Pertahanan Lokal
Kamp itu dijaga oleh anggota pasukan pertahanan lokal, yang kalah jumlah dan persenjataan, kata Bantariza.
Sangat tidak mungkin untuk menghubungi Lord’s Resistance Army, yang dipimpin oleh Joseph Kony, yang mengaku memiliki kekuatan spiritual.
Setelah serangan 11 September di Amerika Serikat, Presiden AS George Bush menempatkan kelompok yang jarang melakukan kontak dengan dunia luar itu dalam daftar organisasi yang diduga memiliki hubungan dengan terorisme.
“Para pemberontak datang dengan senjata canggih, dan granat, ketika mereka tiba di kamp pada pukul 17.30, mereka mendekatinya dari tiga front – dari utara, timur dan selatan dan meninggalkan sisi barat untuk keluar,” kata Anjiro. “Mereka membom kamp dengan artileri dan mengalahkan pasukan pertahanan lokal dan kemudian mulai membakar gubuk.”
Letnan 2 Chris Magezi, seorang juru bicara militer di wilayah itu, mengatakan pasukan pemerintah sedang mengejar para pemberontak.
Magezi, juga berbicara dari Lira, 250 kilometer (155 mil) utara Kampala, juga tidak dapat memastikan jumlah korban tewas, namun dia mengatakan itu tampaknya menjadi salah satu serangan pemberontak terburuk selama beberapa tahun. Pada tahun 1995, pemberontak mengumpulkan lebih dari 300 penduduk desa di distrik Gulu dan membantai mereka, katanya.
Kelompok pemberontak, yang mendatangkan malapetaka di Uganda utara dan timur laut, bangkit dari sisa-sisa pemberontakan tentara suku Acholi setelah Presiden Yoweri Museveni, seorang warga selatan, merebut kekuasaan pada 1986 setelah memimpin perang semak selama lima tahun. Acholi adalah suku dominan di Uganda utara.
Advertisement
Pemberontak Telah Menyerah Pada Pertengahan 1988
Sebagian besar pemberontak telah menyerah pada pertengahan 1988, tetapi mereka yang terus berjuang bergabung menjadi Tentara Perlawanan Tuhan.
Kelompok itu mengisi kembali barisannya dengan anak-anak yang diculiknya untuk digunakan sebagai pejuang, kuli angkut, atau selir. Perkiraan ukuran kelompok berkisar dari ratusan hingga beberapa ribu.
Pemberontakan telah naik dan turun, tergantung pada hubungan antara negara Afrika Timur dan tetangganya.
Para pemberontak biasa melancarkan serangan ke Uganda utara dari negara tetangga Sudan selatan, terutama menyerbu desa-desa dan menyerang pos-pos militer. Tetapi pada bulan Maret 2002, pemerintah Sudan, yang dituduh Museveni mendukung para pemberontak, setuju untuk mengizinkan pasukan Uganda memasuki Sudan untuk menghancurkan pangkalan pemberontak yang disebut “Operasi Tinju Besi.”
Operasi tersebut mendorong pemberontak ke Uganda utara di mana mereka memperbarui serangan mereka ke desa dan kamp, menjarah, membunuh, dan memaksa ribuan anak melarikan diri ke kota yang aman setiap malam. Pemberontakan juga menyebar ke Uganda timur tahun lalu.
Pemerintah berusaha untuk menarik para pemberontak ke dalam pembicaraan damai tahun lalu, tetapi para pemberontak, yang mengaku membela kepentingan Acholi, menolak untuk berkumpul di wilayah yang ditunjuk pemerintah dan pembicaraan tidak pernah terjadi.
Museveni, yang secara teratur bersumpah untuk menumpas pemberontakan, sering pergi ke Uganda utara untuk memimpin operasi militer.
Sejarah Lain di Tanggal 21 Februari
Pada hari ini tahun 1971, delta Sungai Mississippi dilanda tornado yang sangat kuat. Badai yang membawa angin berputar itu berawal dari Louisiana melewati Mississippi hingga Tennessee.
Begitu kuatnya tornado, 100 orang dilaporkan tewas dan ribuan lainnya terluka parah di sepanjang tiga negara bagian di AS itu. Demikian seperti dikutip dari On This Day.
Tornado di delta Sungai Mississippi itu masuk dalam kategori F4 -- kedua paling mematikan. Angin itu berputar dengan kecepatan 207 hingga 260 mph atau sekitar 331-418 kilometer per jam.
Ada sekitar 100 korban tewas, di antaranya satu keluarga yang terdiri atas 10 orang yang tinggal di komunitas India yang tak jauh dari sungai. Saksi mata melaporkan angin yang berputar itu melemparkan puluhan jasad korban.
Tornado kemudian menyapu sepanjang Sungai Mississippi tepatnya di County Issaquena. 150 gedung rusak, dan ratusan warga di sekitarnya terluka.
Presiden AS kala itu, Richard Nixon mendeklarasikan negara bagian dalam bahaya. Bala bantuan termasuk Palang Merah segera diterjunkan. Puluhan petugas rumah sakit yang jauh dari lokasi dikerahkan untuk membantu merawat korban luka.
Sejarah juga mencatat, pada 21 Februari di AS terjadi penembakan paling kelam. Tokoh Muslim paling tersohor di Negeri Paman Sam, Malcolm X dibunuh oleh seorang kolega di New York.
Di hari yang sama pula pada di tahun 1973, Israel menembak pesawat sipil Libya, Libyan Arab Airlines.
Pesawat jenis Boeing 737-200 yang terbang menuju Kairo tersebut diyakini salah rute dengan masuk wilayah udara Israel.
Menurut laporan BBC, kesalahan rute ini terjadi karena pilot mengalami kesulitan mendeteksi arah dikarenakan cuaca buruk dan adanya gangguan pada sistem pesawat.
Advertisement