Liputan6.com, Jakarta Perjalanan menuju generasi emas 2045 tak lepas dari rintangan dan masalah kesehatan seperti stunting. Namun, selain stunting ada masalah lain yang menjadi tantangan yakni mental emotional disorder.
"Selain stunting sebetulnya ada masalah, yaitu mental emotional disorder di mana nyatanya di tahun 2013 mental emotional disorder itu 6,1 persen, tapi di tahun 2018 naik menjadi 8,9 persen," kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo.
Advertisement
Hal ini disampaikannya dalam Kickoff Meeting Pancasila dalam Tindakan: Gerakan Semesta Berencana Mencegah Stunting belum lama ini.
Hasto menambahkan bahwa mental emotional disorder termasuk gangguan jiwa ringan. Pengidapnya suka hidup di dunianya sendiri dan berpikir waham atau merasa benar sendiri.
"Itu menjadi kekhawatiran berikutnya, banyak remaja yang jadi toxic people yang membuat toxic relationship, toxic friendship dan seterusnya," dia menambahkan.
Masalah Lain yang Dihadapi Generasi Emas
Data BKKBN juga menunjukkan, generasi muda yang pernah mencoba narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA) mencapai 5,1 persen.
"Sehingga kalau rumah tahanan isinya mayoritas itu (kasus NAPZA) wajar," katanya.
Jumlah Orang dengan Gangguan Jiwa atau ODGJ di Indonesia
Di sisi lain, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) pada 2013 jumlahnya 1,7 per 1000, sekarang menjadi 7 per 1.000.
"Yang senyum sendiri, ngomong sendiri (ODGJ) dulu tahun 2013 1,7 per 1.000, hari ini 7 per seribu yang senyum sendiri ngomong sendiri. Maka dari itu pembangunan manusia luar biasa penting sekali untuk kita pikirkan bersama," pungkas Hasto.
Syarat Capai Bonus Demografi
Dalam kesempatan tersebut Hasto juga menyampaikan, sejak tahun 1972 pemerintah melaksanakan program Keluarga Berencana. Hal ini membuat generasi muda di Indonesia jauh lebih banyak dari kelompok lanjut usia (lansia).
Jika generasi muda ini tidak stunting, sehat, dan produktif, maka bonus demografi bisa dipetik.
“Itulah pentingnya kenapa generasi muda harus kita sehatkan. Remaja itu menjadi tulang punggung bangsa dan harus menjadi harapan,” ujar Hasto.
“Kalau remajanya putus sekolah kemudian kawin di usia dini dan hamil pada usia dini maka tidak akan mencapai bonus demografi atau menjadi musibah lah.”
Pernikahan dini ini diyakini menjadi salah satu faktor terjadinya stunting.
Advertisement
Dampak Stunting
Stunting perlu dicegah lantaran bisa membawa dampak negatif pada generasi muda sehingga bonus demografi atau generasi emas akan sulit tercapai. Stunting itu pendek, lanjut Hasto, tapi pendek belum tentu stunting.
“Jika ada orang pendek tapi cerdas itu jelas tidak stunting. Sebetulnya kita hari ini baru mengukur pendeknya saja, jadi angka berapa persen itu sebetulnya yang pendek. Yang stunting beneran itu kita belum tahu karena harus diperiksa kecerdasannya.”
Bukan hanya membuat tubuh menjadi pendek, dampak stunting secara umum sangat merugikan. Stunting memiliki dampak pada menurunnya kualitas sumber daya manusia (SDM), produktivitas, dan daya saing.
Dampak jangka pendek dari stunting termasuk:
- Terganggunya perkembangan otak
- Kecerdasan berkurang
- Gangguan pertumbuhan fisik
- Gangguan metabolisme dalam tubuh.
Bukan Sekadar Pendek
Sedangkan, dampak jangka panjang dari stunting termasuk:
- Menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar
- Menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah terpapar penyakit
- Meningkatnya risiko memiliki penyakit diabetes, obesitas, penyakit jantung, pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua.
“Dampak stunting ini tidak tinggi, jadi tidak bisa menjadi TNI, jadi Polri dan dia di usia tuanya cenderung sakit-sakitan lebih awal sekitar usia 45. Kalau orang pendek dan gemuk, gemuknya di tengah atau central obese. Ini membuat kita mudah terkena penyakit metabolik atau metabolic disorder.”
Contoh penyakit yang bisa timbul pada orang dengan kriteria ini adalah kencing manis dan penyakit gangguan kardiovaskular seperti tekanan darah tinggi, stroke, dan sebagainya.
Advertisement