Liputan6.com, Jakarta - Sebuah tanda bertuliskan No Pork, No Lard di area masuk restoran menuai perdebatan. Pasalnya, tanda itu dianggap mengecoh pengunjung, khususnya kaum muslim, yang menganggap restoran itu tak menyajikan makanan mengandung babi.
Seorang calon pengunjung restoran pun mengunggah temuannya lewat akun TikTok bernama akun @Lunanguyen.hb pada Sabtu, 18 Februari 2023. Ia menulis keterangan 'hampir dicurangi' karena membaca keterangan 'No Pork, No Lard' di pintu masuk sebuah restoran peranakan.
Baca Juga
Advertisement
Saat itu, ia dan rekannya sedang mencari tempat makan ramah muslim. Setelah diteliti, restoran itu ternyata menyajikan menu berbahan daging babi.
Dikutip dari AsiaOne, Senin (20/2/2023), dalam video tersebut, ia juga menyoroti reklame restoran yang bertuliskan Tingkat Peramakan. Lokasinya berada di PLQ Mall Singapura. Namun, warganet lokal terpecah menanggapi unggahan tersebut.
"Aku tak melihat sesuatu yang salah. No pork lard tidak berarti tidak menjual daging babi," komentar seorang warganet.
"Itu tertulis 'no pork lard', bukan 'no pork nor lard'. Terima kasih," imbuh warganet berbeda, mengkritik Lunanguyen yang dianggap tak membaca tanda tersebut dengan benar.
Namun, tak sedikit yang beranggapan sama dengan si pembuat konten. Lewat unggahan tersebut Lunanguyen menjelaskan sengaja membuat video itu sebagai peringatan kepada orang Muslim lainnya, khsusnya yang mungkin bersantap di restoran yang tidak memiliki sertifikat halal, tetapi tidak menyajikan babi. Warganet berbeda juga menganjurkan setiap muslim untuk selalu mengecek buku menu bila hendak makan di satu tempat, dan memastikan ada sertifikat halal bila meragukan.
Reaksi Restoran
Hingga berita itu diturunkan, pihak restoran belum merespons permintaan konfirmasi dari AsiaOne. Namun, Lunanguyen berinisiatif kembali ke restoran yang dimaksud setelah unggahannya viral di media sosial.
Ia menemukan bahwa tanda 'No Pork, No Lard' tidak lagi dicantumkan di papan menu. "If there is nothing wrong why must they remove it? At least it's misleading. (Bila tidak ada yang salah kenapa mereka harus mencopotnya? Setidaknya itu menyesat)," tulis Lunanguyen dalam kolom keterangan di video selanjutnya.
Dalam kesempatan berbeda, Direktur Utama LPPOM MUI, Muti Arintawati mengatakan sejauh ini tidak ada pelaku usaha yang memproduksi produk mengandung bahan haram berusaha mendapatkan sertifikasi halal. Di sisi lain, pengusaha juga tak berhak memasang logo halal untuk produk mereka tanpa memiliki sertifikat halal.
Dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal disebutkan bahwa pelaku usaha yang mencantumkan label halal tidak sesuai dengan ketentuan bakal dikenai sanksi administratif. Ada tiga tingkatannya dimulai dari teguran lisan, peringatan tertulis, dan yang terberat adalah pencabutan sertifikat halal.
"Pada 2024, begitu hukum harus ditegakkan, harus ada sanksi (bagi pelanggar). Kalau sanksi administratif, rasanya terlalu ringan," kata Muti dalam media gathering LPPOM MUI, Selasa, 17 Januari 2023.
Advertisement
Masa Berlaku Sertifikat Halal
Sementara dalam Pasal 41 ayat 1 disebutkan bahwa sertifikat halal berlaku selama empat tahun sejak diterbitkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Itu pun dengan syarat tidak ada perubahan komposisi bahan baku. Selanjutnya, sertifikat halal wajib diperpanjang oleh pelaku usaha dengan mengajukan pembaruan sertifikat halal paling lambat tiga bulan sebelum masa berlaku sertifikat halal berakhir.
Namun, Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja mengubah bunyi pasal dengan menyebutkan bahwa, 'Sertifikat Halal berlaku sejak diterbitkan oleh BPJPH dan tetap berlaku sepanjang tidak terdapat perubahan komposisi Bahan dan/atau PPH'. Hal itu diterjemahkan sebagian pihak bahwa sertifikat halal bisa berlaku seumur hidup sepanjang tak ada perubahan komposisi.
Terkait hal ini, Muti menyatakan keberatan. "Buat kami itu sesuatu yang berat sekali karena di mana pun (sertifikasi) selalu ada masa berlakunya. Butuh pihak ketiga untuk memastikannya. Sertifikat halal juga berdasarkan fatwa dari komisi fatwa MUI. Fatwa itu juga ada masa berlakunya," ia menjelaskan.
Berdasarkan pengalamannya, tidak ada pelaku usaha yang tidak mengubah produk mereka. Banyak inovasi dan modifikasi dilakukan produsen sebagai bagian pengembangan produk.
"Kita tidak lihat komposisi yang dipakai, tapi bahannya. Mau dipakai 1 gram, tetap harus dilihat yang dipakai ini apa... Kalau ternyata ada shortage, kekurangan, karena perang Ukraina misalnya, harus impor shortening dari negara lain, status kehalalannya juga harus dicek lagi," imbuh dia.
Bentuk Pertanggungjawaban
Muti menegaskan sertifikat halal bukan sekadar selembar surat, tetapi merupakan jaminan kepada konsumen bahwa produk yang dikonsumsi mereka diproduksi sesuai syariat. "Itu bukan sederhana dan itu harus dipertanggungjawabkan," ucapnya.
Sebelumnya, Ketua Majelis Ulama Indonesia bidang fatwa, Asrorun Niam Sholeh menyatakan kesadaran pelaku usaha untuk mengajukan sertifikasi halal belum tinggi. Hingga akhir 2022, ia menyebut baru 105.326 produk yang masuk dari sekitar 64 juta produk pangan yang beredar di Indonesia saat ini.
"Hingga akhir tahun ini, baru 100 ribu produk yang masuk. Mengapa? Ya karena mampet di hulunya. Kesadaran pelaku usaha juga belum tinggi sehingga banyak fasilitas yang tidak terserap. Anggaran PEN untuk lebih dari 300 ribu pelaku usaha, terserap tidak lebih dari 100 ribu," ujar Niam dalam acara Laporan Tahunan Komisi Fatwa MUI, Kamis, 29 Desember 2022, dikutip dari rilis yang diterima Liputan.com, Jumat, 30 Desember 2022.
Pemerintah, kata dia, sebenarnya sudah mengalokasikan anggaran melalui dana PEN untuk memfasilitasi sertifikasi halal bagi 324 ribu pelaku usaha. "Salah satu kendalanya adalah kesulitan mencari pelaku usaha yang mau mendaftarkan usahanya untuk sertifikasi halal," kata Niam.
Selama 2022, ia menyatakan MUI telah menyidangkan 105.326 laporan pelaku usaha yang merupakan jumlah keseluruhan yang masuk, baik dari jalur LPH maupun dari pernyataan pelaku usaha. Semua laporan diproses dalam rentang waktu sesuai UU, yakni maksimal tiga hari.
"Kapasitas MUI Pusat dalam melaksanakan sidang penetapan halal jauh di atas angka 105.326. Pelaksanaan sidang penetapan halal MUI di Tahun 2022 ini baru menggunakan dua persen dari riil kapasitas yang dimiliki MUI," kata Niam.
Advertisement