Liputan6.com, Jakarta PT Bank Fama International (Bank Fama) resmi berganti nama menjadi PT Super Bank Indonesia (Superbank) per 20 Februari 2023. Perubahan nama ini sebagai realisasi perluasan akses layanan finansial Superbank sebagai bank yang memberikan pelayanan berbasis digital.
Direktur Utama Superbank Tigor M. Siahaan mengatakan perubahan nama Bank Fama menjadi Superbank menjadi tonggak perjalanan penting dalam perubahan bisnis perbankan yang memberikan layanan berbasis digital.
Advertisement
“Kami sangat antusias dengan perubahan nama menjadi Superbank yang merupakan tonggak penting perjalanan kami menjadi bank dengan layanan berbasis digital yang didukung penuh oleh mitra ekosistem kami sejak awal,” kata Tigor dalam keterangan resminya, Jakarta, Senin (20/2/2023).
Perubahan nama menjadi Superbank ini pun diiringi dengan perubahan logo perusahaan. Logo baru Superbank ini terdiri dari 3 elemen. Pertama, huruf S yang merupakan inisial dari nama Superbank.
Kedua, tetesan air yang menandakan fluiditas bank. Superbank menyesuaikan produk dan layanannya untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.
Ketiga, tanda panah yang menandakan kemajuan .
Tigor mengatakan Superbank merupakan bank bagi masyarakat yang percaya tidak ada hal yang terlalu besar untuk dicapai. Superbank hadir untuk mereka atau nasabah yang selalu mencari dan tidak pernah berhenti untuk menjadi super optimis.
"Superbank hadir di sini untukmu, untuk memberi solusi keuangan digital yang sederhana, transparan dan fleksibel yang diperlukan untuk maju,” tutur Tigor.
Bank Digital
Sebagai informasi, PT Super Bank Indonesia (Superbank) merupakan bank dengan layanan berbasis digital. Superbank merupakan brand baru menggantikan PT Bank Fama International, sebuah Bank Umum yang didirikan di Bandung, 5 Maret 1993.
Di tahun 2021, kepemilikan Bank Fama beralih kepada Grup Emtek yang diwakili oleh PT Elang Media Visitama dan PT Nusantara Berkat Agung. Dilanjutkan dengan bergabungnya Grab melalui A5-DB Holdings Pte Ltd dan Singtel melalui Singtel Alpha Investment Pte Ltd sebagai pemilik saham untuk mendukung transformasi Bank Fama menjadi bank dengan layanan berbasis digital.
Superbank telah mendapatkan berbagai penghargaan, salah satunya meraih The Most Efficient BANK Kategori BUKU I dalam ajang Bisnis Indonesia Financial Award (BIFA) 2022.
Kehadiran Superbank sebagai pendatang baru di perbankan digital Indonesia memiliki misi untuk memperluas akses kredit bagi nasabah UMKM dalam mengelola usaha, memberikan solusi inovatif untuk nasabah retail, serta mengembangkan kolaborasi melalui salah satu ekosistem terluas di industri.
Advertisement
Suku Bunga Naik, Bank Digital Merana
Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 0,25 persen. Sehingga suku bunga acuan teranyar menjadi 5,75 persen sebelumnya 5,50 persen.
Secara umum, kenaikan suku bunga berdampak positif untuk perbankan. Namun sayangnya hal itu tak serta merta juga berlaku untuk bank digital.
Melihat historisnya, Direktur Panin Asset Management Rudiyanto mencermati bank digital memang sudah menawarkan bunga tinggi bahkan saat suku bunga belum naik sebagai daya tarik bagi nasabah baru.
Namun perlu diingat, kebanyakan perusahaan teknologi termasuk bank digital acap terapkan strategi bakar uang pada awal operasional mereka. Uang yang dibakar umumnya bukan berasal dari kas perusahaan, melainkan berasal dari pihak ketiga atau pemodal.
Setelah tak ada pemodal, maka perlu dipertanyakan kelanjutan dari strategi bakar uang, yang salah satunya dilakukan dengan menawarkan bunga tinggi.
“Sebelum bunga tinggi sudah tawarkan bunga tinggi. 2021–2022 bunganya sudah tinggi. Waktu itu masih pakai duit orang, venture capital, sekarang semuanya susah tidak kasih uang lagi. Jadi kalau mereka masih berani memberi bunga tinggi yang bukan berasal dari uang mereka sendiri, berapa lama? sustainable ga?,” ujar Rudi dalam webinar Indonesia Investment Education, Sabtu (21/1/2023).
Di sisi lain, jika perusahaan mengandalkan kas internal maka akan ada batasnya. Bukan bukan tanpa alasan, sebagai industri yang relatif baru, bank digital punya pekerjaan rumah (PR) untuk menjadi industri yang matang.
“Jadi saya lihat kalau mereka berani kasih bunga tinggi uang dari mana. Kalau dari luar mungkin masih sustain, kalau dari uang sendiri seberapa kuat,” imbu Rudi.
Sebelumnya, Research Analyst Infovesta Kapital Advisori, Arjun Ajwani mengatakan hal serupa. Dia mencermati kenaikan suku bunga akan berdampak pada membengkaknya biaya operasional bank digital.
Selain karena biaya operasional bank digital relatif lebih tinggi dibanding bank konvensional, naiknya suku bunga juga mendesak bank digital untuk ikut tawarkan bunga deposito yang kompetitif.