Liputan6.com, Jakarta Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan bahwa gangguan jiwa ringan menjadi tantangan mencapai generasi emas 2045 selain stunting.
Lebih spesifik, Hasto mengatakan bahwa gangguan jiwa yang dimaksud adalah mental emotional disorder.
Advertisement
“Selain stunting sebetulnya ada masalah, yaitu mental emotional disorder di mana nyatanya di tahun 2013 mental emotional disorder itu 6,1 persen, tapi di tahun 2018 naik menjadi 8,9 persen,” kata Hasto dalam Kickoff Meeting Pancasila dalam Tindakan: Gerakan Semesta Berencana Mencegah Stunting, 16 Februari 2023.
Menurut Hasto, remaja dengan mental emotional disorder suka hidup di dunianya sendiri dan berpikir waham atau merasa benar sendiri.
“Itu menjadi kekhawatiran berikutnya, banyak remaja yang jadi toxic people yang membuat toxic relationship, toxic friendship dan seterusnya,” tambahnya.
Di sisi lain, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) pada 2013 jumlahnya 1,7 per 1000, sekarang menjadi 7 per 1000.
“Yang senyum sendiri ngomong sendiri (ODGJ) dulu tahun 2013 1,7 per 1000, hari ini 7 per seribu yang senyum sendiri ngomong sendiri. Maka dari itu pembangunan manusia luar biasa penting sekali untuk kita pikirkan bersama,” katanya.
Data BKKBN juga menunjukkan, generasi muda yang pernah mencoba narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA) mencapai 5,1 persen.
“Sehingga kalau rumah tahanan isinya mayoritas itu (kasus NAPZA) wajar.”
Untuk Mencapai Bonus Demografi
Untuk mencapai bonus demografi, generasi muda harus bebas dari gangguan jiwa, tidak stunting, sehat, dan produktif.
Hasto juga menyampaikan, sejak tahun 1972 pemerintah melaksanakan program Keluarga Berencana (KB). Hal ini membuat generasi muda di Indonesia jauh lebih banyak dari kelompok lanjut usia (lansia).
“Itulah pentingnya kenapa generasi muda harus kita sehatkan. Remaja itu menjadi tulang punggung bangsa dan harus menjadi harapan,” ujar Hasto.
Tantangan lain yang perlu perhatian penuh adalah pernikahan dini atau perkawinan usia anak.
“Kalau remajanya putus sekolah kemudian kawin di usia dini dan hamil pada usia dini maka tidak akan mencapai bonus demografi atau menjadi musibah lah.”
Pernikahan dini ini diyakini menjadi salah satu faktor terjadinya stunting.
Advertisement
Akibat Stunting
Upaya pencegahan stunting perlu didukung semua pihak karena dampak negatifnya tak main-main.
Stunting itu pendek, lanjut Hasto, tapi pendek belum tentu stunting.
“Jika ada orang pendek tapi cerdas itu jelas tidak stunting. Sebetulnya kita hari ini baru mengukur pendeknya saja, jadi angka berapa persen itu sebetulnya yang pendek. Yang stunting beneran itu kita belum tahu karena harus diperiksa kecerdasannya.”
Bukan hanya membuat tubuh menjadi pendek, dampak stunting secara umum sangat merugikan. Stunting memiliki dampak pada menurunnya kualitas sumber daya manusia (SDM), produktivitas, dan daya saing.
Dampak jangka pendek dari stunting termasuk:
- Terganggunya perkembangan otak
- Kecerdasan berkurang
- Gangguan pertumbuhan fisik
- Gangguan metabolisme dalam tubuh.
Turunkan Kemampuan Kognitif
Sedangkan, dampak jangka panjang dari stunting termasuk:
- Menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar
- Menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah terpapar penyakit
- Meningkatnya risiko memiliki penyakit diabetes, obesitas, penyakit jantung, pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua.
“Dampak stunting ini tidak tinggi, jadi tidak bisa menjadi TNI, jadi Polri dan dia di usia tuanya cenderung sakit-sakitan lebih awal sekitar usia 45. Kalau orang pendek dan gemuk, gemuknya di tengah atau central obese. Ini membuat kita mudah terkena penyakit metabolik atau metabolic disorder.”
Contoh penyakit yang bisa timbul pada orang dengan kriteria ini adalah kencing manis dan penyakit gangguan kardiovaskular seperti tekanan darah tinggi, stroke, dan sebagainya.
Advertisement