Liputan6.com, Berlin - Hasil penelitian yang dirilis oleh German Institute of Economics pada Selasa (21/2/2023), mengungkapkan bahwa perang Ukraina merugikan ekonomi global lebih dari US$ 1,6 triliun atau sekitar Rp24.344 triliun pada tahun 2022.
Penelitian yang sama menyebutkan bahwa kerugian global dapat mencapai US$ 1 triliun lagi atau lebih pada tahun 2023. Demikian seperti dikutip dari Anadolu, Rabu (22/2).
Advertisement
Model penghitungan lembaga ini didasarkan pada Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara itu, proyeksi ekonomi global IMF disebut menjadi dasar perhitungan dan estimasi.
Untuk mencapai hasil penelitian tersebut, perkembangan aktual PDB pada tahun 2022 dan perkiraan untuk tahun 2023 dibandingkan dengan perkembangan yang diharapkan semula pada akhir tahun 2021 tanpa perang Ukraina.
"Perang telah menyebabkan gangguan pasokan dan produksi di seluruh dunia," ungkap studi tersebut. "Biaya energi meroket. Inflasi meningkat tajam di mana-mana, mengurangi daya beli."
"Mengingat prospek ekonomi yang tidak pasti, kenaikan biaya pembiayaan akibat kenaikan suku bunga di seluruh dunia dan kenaikan biaya modal, perusahaan di seluruh dunia menahan investasi mereka."
Untuk tahun ini, penulis studi memperkirakan kerugian absolut akan sedikit lebih rendah dibanding tahun 2022. Alasannya adalah karena adanya pelonggaran pasar bahan baku dan energi global.
Eks Dubes AS: Rusia Menolak Pembicaraan Konstruktif
Mantan duta besar Amerika Serikat (AS) untuk Rusia John Sullivan mengungkapkan bagaimana rasanya mencoba bernegosiasi dengan Kremlin dan mengapa Presiden Vladimir Putin tidak akan menyerah begitu saja di Ukraina.
"Mereka menuntut jaminan keamanan untuk Rusia, tetapi tidak mau berbicara secara konstruktif tentang keamanan untuk Ukraina. Mereka tidak pernah bergerak melampaui pokok pembicaraan mereka," klaim Sullivan.
Dalam pidatonya pada Selasa, Putin mengulangi pandangannya bahwa Barat telah memulai perang, bahwa Barat menggunakan Ukraina untuk mencoba menimbulkan "kekalahan strategis" di Moskow, dan bahwa Rusia, bukan Ukraina, yang tengah berjuang untuk mempertahankan eksistensinya.
Sullivan mengatakan, tujuan invasi Rusia ke Ukraina, yaitu untuk "menghapus pengaruh Nazi" dan "demiliterisasi". Eks dubes AS itu kemudian menafsirkannya sebagai "menghapus pemerintah di Kyiv dan menaklukkan rakyat Ukraina".
"Dia (Putin) tidak dapat memiliki pemerintahan yang dipilih secara demokratis, terutama yang dipimpin oleh Presiden (Volodymyr) Zelensky, di Kyiv," kata Sullivan. "Dia tidak akan pernah puas selama pemerintahan itu ada karena dia menganggapnya sebagai ancaman bagi Rusia dan visinya tentang negara Rusia yang lebih besar yang dia coba ciptakan."
Advertisement
Jadi, Apa yang Dibutuhkan Putin untuk Menghentikan Perang?
Menurut Sullivan, "Dia harus diyakinkan bahwa dia tidak bisa menang."
Sullivan menuturkan, Putin memiliki cakrawala jangka panjang dan visi untuk apa yang ingin dia capai, sehingga dia tidak akan menyerah dengan mudah.
Namun, kata Sullivan, rakyat Ukraina juga tidak akan mudah menyerah. Dia menyinggung salah satu kegagalan strategis Putin disebabkan oleh tindakannya mengasingkan bangsa Slavia.
"Rakyat Ukraina tidak akan memaafkan dan melupakan," katanya. "Bahkan jika Presiden Zelensky ingin mengakhiri perang, ingin membuat konsesi teritorial, pada dasarnya ingin menyerah, rakyat Ukraina tidak akan membiarkannya."
Dengan kebuntuan militer, politik, dan ideologis seperti itu, AS harus bersiap untuk perang yang panjang.
Sullivan sendiri pesimistis konflik akan berakhir tahun ini.
"Selain itu saya tidak tahu lagi," katanya. "Tapi (Putin) tidak menginginkan kesalahan. Tujuan dari operasi militer khusus ini akan tercapai. Dia mengatakan itu sepanjang waktu."