Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terus memasang mata terhadap situasi perekonomian dunia yang masih belum menentu. Ia mewaspadai potensi terjadinya resesi global, yang tentu akan turut berimbas terhadap ekonomi Indonesia.
Menurut dia, kondisi perekonomian global, terutama negara maju masih mengalami tantangan yang sangat berat. Pertumbuhan ekonomi global tahun ini diperkirakan lebih lambat dari 2022, apalagi 2021 yang jadi momentum pemulihan ekonomi pasca pandemi.
Advertisement
"Sehingga tren melemahnya ekonomi di negara maju ini masih berlanjut. Dan, kemungkinan terjadi resesi global juga masih ada. Oleh karena itu, peranan dari pertumbuhan ekonomi global melambat," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita, Rabu (22/2/2023).
"Terutama disumbangkan perekonomian Amerika, Eropa, meskipun Tiongkok akan maju tapi masih di bawah target yang diharapkan Pemerintah Tiongkok itu sendiri. Ini tentu akan menjadi pengaruh yang akan sangat menentukan perekonomian Indonesia juga," ujarnya.
Lebih lanjut, Sri Mulyani lantas melihat beberapa indikator, seperti global commodity index naik 15 persen secara tahunan (year on year). "Ini merupakan titik tertinggi, naik 33 persen pada bulan Mei 2022," imbuhnya.
Ancaman Inflasi
Namun, tingkat inflasi di berbagai negara jadi yang tertinggi dalam jangka waktu 40 tahun terakhir. Begitu juga kurs dolar Amerika Serikat (AS) yang kiat menguat meski Negeri Paman Sam tengah berjibaku dengan lonjakan inflasi.
"Sehingga dari sisi kebijakan moneter di Amerika Serikat yang diperkirakan masih akan bertahan dengan suku bunga tinggi cukup lama, menyebabkan dolar Amerika mengalami penguatan," sebut Sri Mulyani.
Catatan lainnya, stok saham untuk negara-negara berkembang mengalami penurunan 20 persen, disebabkan oleh interest rate tinggi yang membuat harga saham mengalami tekanan.
Indeks Manufaktur
Di sisi lain, Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktir global pun mengalami pelemahan, jadi yang tertendah dalam 2,5 tahun.
"Ini yang menggambarkan bahwa suasana dunia masih memang dalam kondisi tertekan ekonominya. Terutama dimotori oleh negara-negara Eropa yang terkena imbas langsung dari perang di Ukraina. Amerika Serikat yang tentu juga terlibat di dalam perang di Ukraina, namun pada saat yang sama inflasi di dalam negerinya tinggi," urainya.
"Sementara di Tiongkok dengan negara perekonomian terbesar kedua (dunia) mengalami pemulihan sesudah adanya pembukaan dari kebijakan lockdown-nya," kata Sri Mulyani.
Advertisement
Resesi Beda dengan Krisis Ekonomi, Mana yang Lebih Seram?
Resesi global mengancam sebagian besar negara di dunia. Sejumlah negara mulai mengantisipasi dengan berbagai kebijakan masing-masing, mulai dari menaikkan suku bunga hingga memberikan insentif kepada para pelaku ekonomi.
Indonesia misalnya, berbagai kebijakan tengah dilakukan mulai dari perkuat pasar ekspor hingga memberikan bantuan sosial kepada masyarakat. Tujuan akhirnya satu, menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Dengan ekonomi tetap tumbuh, maka sebuah negara akan jauh dari resesi.
Banyak pihak yang mengartikan resesi global sama seperti krisis ekonomi. Namun, perlu diketahui, ternyata istilah tersebut sangat jauh berbeda. Mana yang punya dampak lebih dahsyat terhadap sebuah negara?
Resesi
Seperti diketahui, resesi ekonomi memiliki pengertian bahwa sebuah negara angka pertumbuhan ekonominya negatif dalam dua kuartal berturut-turut. Jika itu terpenuhi, maka negara tersebut bisa dikatakan jatuh ke jurang resesi.
Pengamat Ekonomi Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menjelaskan, resesi ekonomi menjelaskan, resesi cenderung bisa diprediksi dan bisa diantisipasi ketimbang krisis ekonomi.
"Biasanya resesi memang predictable, karena sinyalnya bisa dilihat dari historical growth. Kalau krisis agak sulit, bukan berarti tak terprediksi," terang dia kepada Liputan6.com, Selasa (21/2/2023).
Tidak hanya itu, resesi juga memiliki siklus. Di mana kondisi ekonomi dunia ada masa ketika bisnis tumbuh, lalu berkembang, sampai pada puncaknya, lalu mulai menurun. Di situlah potensi resesi ekonomi terjadi.
"Ekonomi akan mengikuti, setelah ekonomi tumbuh cukup agresif ada masanya overheating, lalu inflasi, lalu suku bunga dinaikkan. Setelah suku bunga naik biasanya inflasinya mereda, tapi growth-nya juga melambat. Di situlah kita menyebutnya resesi," terangnya.
"Jadi, mengapa kita menyebut resesi global, karena negara-negara besar mengambil arah ke sana untuk melawan inflasi," tambah dia.
Krisis Ekonomi
Berbeda dengan resesi, krisis ekonomi sangat sulit diprediksi dan cenderung bersifat mendadak. Berbagai hal yang menyebabkan krisis ekonomi diantaranya adanya masalah keuangan yang meluas.
Indonesia sendiri pernah mengalami krisis ekonomi pada 1997-1998.
"1997-1998, bank dan perusahaan terlilit utang, tidak mampu bayar, malah sebagian tutup, sebagian dapat talangan. Penggangguran mendadak naik tajam. Otomatis growth langsung minus. Rate rupiah tepar berlipat-lipat," jelas Ronny.
"Oleh karena itu, biasanya kerusakan ekonomi akibat krisis ekonomi lebih parah dan butuh waktu untuk pemulihan," pungkasnya.