Liputan6.com, Jakarta Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengeluarkan surat edaran terkait harga batas atas pembelian gabah atau beras. Melalui surat edaran No.47/TS.03.03/K/02/2023, Bapanas menetapkan batas atas harga pembelian gabah dan beras untuk mengendalikan laju harga beras/gabah.
Namun, Serikat Petani Indonesia (SPI) menyesalkan kebijakan yang dibuat oleh Bapanas tersebut.
Advertisement
Ketua Umum SPI Henry Saragih menyampaikan, Bapanas tidak melibatkan organisasi petani dalam perumusan kebijakan. Kesepakatan ini menjadi tidak representatif, karena tidak ada perwakilan dari petani, bahkan dari Kementerian Pertanian pun tidak dilibatkan.
"Sebaliknya, Bapanas justru melibatkan korporasi pangan, seperti Wilmar Padi. Keterlibatan dalam menentukan batas atas harga menjadi ruang bagi korporasi pangan skala besar untuk dapat membeli gabah dari petani dengan harga murah, lalu memprosesnya (mengolah dan mendistribusikannya) dengan standar premium dan harga yang premium atau harga tinggi," ujarnya dalam pernyataan tertulis, Rabu (22/2/2023).
Henry melanjutkan, disepakatinya harga bawah Rp 4.200 per kg dan harga batas atas Rp 4.550 per kg ini akan merugikan petani, lantaran dianggap abai terhadap fakta-fakta terjadi peningkatan biaya produksi dan modal yang ditanggung petani.
Harga Pupuk Naik
Contohnya, kenaikan harga pupuk, kenaikan sewa tanah, kenaikan biaya upah pekerja bagi petani yang tidak mengusahakan sawahnya sendiri.
Sebelumnya, SPI sudah mengusulkan revisi Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang terakhir direvisi pada 2020, lantaran sudah tidak sesuai lagi dengan biaya yang ditanggung oleh petani.
"Hal ini menjadi penting karena saat ini tengah memasuki masa panen raya. Sehingga penetapan harga yang layak menjadi sangat krusial," tegasnya.
Usul Petani
Kelompok petani sendiri mengusulkan HPP Rp 5.600 per kg dengan mempertimbangkan upah tenaga kerja, sewa lahan, dan sewa peralatan.
"Upah tenaga kerja sekarang Rp 120-150 ribu per hari, terus sewa lahan apa ada lahan yang disewakan Rp 3-4 juta per ha? Terus sewa peralatan apa mau Rp 400 ribu per ha, pada umumnya Rp 1,5 juta. Terus biaya panen belum dihitung rata rata 3 juta per ha, bahkan di lain daerah masih ada biaya angkut," paparnya.
Ia melanjutkan, kebijakan ini akan memperburuk kesejahteraan petani dan juga merugikan konsumen di Indonesia. Berkaca dari gejolak harga beras yang terjadi di Indonesia selama 2022 lalu, persoalan penyerapan beras untuk cadangan pemerintah menjadi salah satu permasalahan mendasar.
Advertisement
Harus Perhatikan Kesejahteraan Petani
Oleh karenanya, Henry menekankan, kebijakan penyerapan beras haruslah memperhatikan kesejahteraan petani dan konsumen.
"Dari sisi petani, harus ada jaminan harga yang layak sesuai dengan biaya yang ditanggung oleh petani. Sementara itu untuk pendistribusian kepada konsumen, perlu ada kontrol mengenai didistribusi beras terhadap masyarakat," tandasnya.