Liputan6.com, Jakarta Forum Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman-Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I dan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) II di Yogyakarta pada Senin, 20 Februari 2023 lalu.
Agenda dari kegiatan ini salah satunya membahas tentang penolakan rencana revisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Advertisement
Para pekerja sepakat, penolakan ini sangat urgen demi menjaga keberlangsungan mata pencaharian utama mereka. Pasalnya, usulan revisi PP 109/2012 tidak mengakomodir isu kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat yang bergantung pada industri tembakau.
Dengan demikian, mereka perlu memperjuangkan hak-haknya atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, yang selama ini terpenuhi dari bekerja di industri yang menyerap jutaan tenaga kerja tersebut.
Ketua FSP RTMM-SPSI Sudarto mengatakan kajian revisi PP 109/2012 hanya dilihat dari perspektif kesehatan tanpa mengindahkan aspek sosial dan ekonomi masyarakat. Padahal, industri tembakau memiliki kepentingan yang besar bagi jutaan masyarakat Indonesia.
“Landasan yang disiapkan untuk revisi PP 109/2012 dipenuhi data dan alasan yang bias. Kajian yang ada berat sebelah serta tidak peka terhadap isu kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat yang terlibat dalam industri tembakau di Indonesia,” ujar Sudarto.
Intervensi
Bertepatan dengan momentum Hari Pekerja Nasional, Sudarto menjelaskan intervensi yang eksesif terhadap kebijakan industri tembakau dapat mematikan keberlangungan industri yang berujung pada hilangnya mata pencaharian para pekerja di pabrik rokok.
Menurut Sudarto, hingga saat ini belum ada industri yang bisa menggantikan penghasilan pekerja yang setara dengan industri tembakau.
“Aspek pengaturan pada PP 109/2012 sudah lengkap, termasuk larangan jual beli rokok pada anak-anak di bawah usia 18 tahun,” papar Sudarto.
Atas dasar indikator tersebut Sudarto menilai revisi PP 109/2012 tidak perlu dilakukan karena telah berjalan sesuai tujuan. Alih-alih revisi, Sudarto menyarankan agar pemerintah memperkuat penegakan dan pengawasan di lapangan.
“Daripada pemerintah mengeluarkan biaya besar untuk melakukan revisi PP 109/2012, Sebaiknya pemerintah fokus untuk melakukan penegakan dan pengawasan di lapangan,” pungkasnya.
Pengusaha Cemas Revisi PP 109/2012 Bikin Pabrik Rokok Gulung Tikar
Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) meminta agar pemerintah membatalkan rencana revisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Pasalnya, revisi PP 109/2012 dinilai akan mematikan pabrik rokok, terutama yang masih berskala kecil.
Ketua Umum GAPPRI, Henry Najoan, menjelaskan rencana revisi PP 109/2012 lebih bersifat pelarangan bukan pengendalian. Padahal, sebagai produk yang legal secara hukum, produk tembakau memiliki hak yang sama dengan produk lainnya. Rencana revisi ini berpotensi membuat pabrik rokok gulung tikar.
“Rencana revisi PP 109/2012 dapat memberikan dampak negatif bagi Industri Hasil Tembakau (IHT). Kalau ini sampai terlaksana, banyak pabrik rokok yang akan tidak bisa bertahan, terutama yang kecil-kecil,” terang Henry.
Henry juga menilai, desakan revisi PP 109/2012 terkesan dipaksakan dan tidak berdasarkan data yang valid. Sebagai pemrakarsa, Kementerian Kesehatan mengatakan rencana revisi peraturan ini adalah upaya untuk menurukan prevalensi perokok anak yang terus meningkat.
Namun, kenyataannya, data Badan Pusat Statistik mencatat prevalensi perokok anak telah mengalami penurunan selama lima tahun terakhir.
“Usual revisi ini secara data tidak memadai, jauh dari transparansi, dan tidak bersifat komprehensif. Tuntutan Kementerian Kesehatan dan seluruh kelompok yang mengatasnamakan kesehatan untuk merevisi PP 109/2012 bersifat sepihak dan memaksakan pemahaman yang tidak diskursif,” jelasnya.
Advertisement
Tak Diperlukan
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wachjudi, mengatakan revisi PP 109/2012 tidak diperlukan karena regulasi yang berlaku saat ini telah mengatur IHT secara komprehensif.
Benny meminta pemerintah untuk justru lebih memperkuat implementasi, sosialisasi, dan edukasi, terutama terkait pencegahan perokok anak. “PP 109/2012 masih relevan dengan kondisi saat ini, tapi masalahnya itu ada pada implementasinya yang masih banyak kekurangan,” ujar Benny.
Benny juga mengeluhkan absennya partisipasi publik dalam proses rencana revisi PP 109/2012. Ia mengatakan pihak-pihak yang berkepentingan dengan IHT tidak dilibatkan, termasuk organisasinya, Gaprindo.
“Kami sebagai salah satu pemangku kepentingan tidak pernah dilibatkan maupun diberikan kesempatan untuk memberikan pandangan terhadap rencana revisi ini. Hal ini tentunya bertentangan dengan komitmen pemerintah dalam mengedepankan transparansi serta menghadirkan iklim usaha yang kondusif,” pungkas Benny.