Liputan6.com, Jakarta - Real Estate Indonesia atau REI memaparkan sejumlah peluang dan tantangan para pembisnis properti di 2023. Suku bunga kredit yang masih tinggi dan juga adanya Undang-undang Cipta Kerja atau UUCK yang menjadi tantangan terberat di tahun ini.
Bukan ancaman resesi global yang paling ditakutkan para penggiat perusahaan properti di Indonesia, justru berbagai isu dalam negeri lah yang menjadi momok menakutkan.
Advertisement
Sekretaris Jenderal DPP REI, Hari Ganie mengatakan, tantangan yang dihadapi oleh para pengusaha properti di tahun 2023 masih soal aturan. Dia merinci, ada empat tantangan yang wajib diwaspadai.
"Salah satu tantangan kita itu ada di UUCK yang turunan dari aturan atau Undang-undang itu sampai saat ini belum ada kejelasan," katanya pada saat gelaran workshop Sinarmas Land 'Pertumbuhan Sektor Properti Peluang dan Tantangan 2023', Rabu (22/2/2023).
UUCK itu membuat terhambatnya berbagai layanan publik dalam proses perijinan pada industri properti, sejak diberlakukannya UUCK Tahun 2020 dan peraturan turunannya baik itu NIB, PBG, KKPR, Persetujuan Lingkungan.
Dalam aturan itu, Nomor Induk Berusaha (NIB) sektor real estate 68111 belum masuk dalam lampiran PP 5/2021. Lalu, layanan Konfirmasi Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) belum ada NSPK, bagi daerah yang belum memiliki RDTR maupun peta digital, hingga persetujuan Lingkungan sektor real estate pada Permen LHK 4/2021 bertentangan dengan PP 64/2016.
"Belum lagi, terhambatnya layanan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) di Daerah, hingga tanggal 29 Agustus 2022. Mayoritas, daerah masih belum siap untuk melaksanakan PBG, tercatat baru 69 dari 514 Kabupaten atau Kota yang sudah menerbitkan Perda PBG dan 132 kabupaten atau kota yang belum menerbitkan Perda PBG dan belum menerbitkan PBG," ujarnya.
Ditambah, belum adanya kepastian kenaikan harga jual bagi rumah subsidi untuk MBR, hingga suku bunga kredit yang masih tinggi, baik pagi pelaku usaha maupun konsumen untuk KPR.
Inflasi Terkendali
Namun demikian, dia juga menyebutkan dibalik tantangan, ada peluang pangsa properti dalam negeri. Pertama, pemerintah selalu memberi kepastian soal tingkat inflasi yang masih terkendali.
"Hal ini juga dibarengi dengan perbaikan ekonomi dan daya beli masyarakat yang masih tinggi. Ini terbukti, dari prediksi adanya 800 ribu keluarga baru, ternyata ada peningkatan permintaan Properti di Jabodetabek yang mencapai 20 persen," tutur Hari.
Lalu, hal lain yang menjadi peluang adalah, kondisi ketidakstabilan ekonomi global membuat masyarakat cenderung memilih untuk berinvestasi di dalam negeri saja. Makanya tak heran, justru yang laris manis di pasaran adalah rumah pada angka Rp 500 juta sampai Rp 1 miliar.
"Tahun 2022 tumbuh positif dari segi unit dan rupiah. Pasar yang gemuk itu laris diangka Rp 500 juta sampai Rp 1 miliar, wilayah-wilayah yang tumbuh itu di kawasan ekonomi yang sudah kuat, seperti kawasan Depok misalnya, sudah menggeliat lagi sebagai kawasan pendidikan," katanya.
Advertisement