Wow, Ada 446 Regulasi Atur Industri Hasil Tembakau

Industri tembakau menjadi salah satu andalan penyumbang lapangan kerja hingga pajak negara.

oleh Liputan6.com diperbarui 22 Feb 2023, 23:00 WIB
Ratusan buruh Indonesia bekerja di pabrik tembakau di pabrik rokok di Jember (13/2/2012). (AFP / ARIMAC WILANDER)

Liputan6.com, Jakarta Industri tembakau menjadi salah satu andalan penyumbang lapangan kerja hingga pajak negara. Untuk itu, kebijakan di industri ini sangat menentukan banyak rumah tangga.

Industri hasil tembakau (IHT) selama ini menjadi salah satu industri yang diatur paling ketat. Tidak hanya di tingkat nasional dengan keberadaan Peraturan Pemerintah No. 109/2012 (PP 109/2012) namun juga di tingkat daerah melalui 400 regulasi di tingkat daerah.

Dari catatan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) saat ini ada lebih dari 446 regulasi yang mengatur IHT mulai dari level pemerintah pusat hingga pemerintah daerah.

Dari total regulasi tersebut hampir 90 persen atau setara 400 regulasi mengatur pembatasan konsumsi alias tobacco control dan hanya ada 5 regulasi yang mengatur ekonomi dan kesejahteraan.

“Dari banyaknya regulasi soal tembakau tersebut, hampir tidak ada yang melindungi keberlangsungan IHT, sebaliknya justru bersifat menekan produksi dan konsumsi tembakau yang legal. Sehingga jelas sekali terlihat hegemoni rezim kesehatan yang kuat memengaruhi kebijakan IHT di Indonesia,” ungkap Ketua Umum GAPPRI Henry Najoan kepada wartawan, Rabu (22/2/2023).

Oleh karena itu, Henry menilai rencana pemerintah untuk melakukan revisi PP 109/2012 justru bakal menambah daftar panjang yang mengebiri pertumbuhan industri tembakau.

Sebab, rencana revisi yang tertuang pada Keputusan Presiden Nomor 25/2022 lebih menitikberatkan aspek pelarangan total terhadap industri tembakau, alih-alih mengendalikan.

“Selain padat aturan, IHT ini juga merupakan industri yang padat karya. Ada sekitar 5,98 juta pekerja pada rantai pasok IHT, dengan lebih dari 230.000 pekerja langsung pada pabrik rokok. Rencana revisi PP 109/2012 akan berdampak negatif bagi IHT,” sambungnya.

 


Keberhasilan Kebijakan

Petani Tembakau (Foto:Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Di kesempatan yang sama, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO) Benny Wachyudi menambahkan padatnya regulasi terhadap IHT selama ini nyatanya telah terbukti berhasil meraih tujuannya.

Ini misalnya terbukti dari berkurangnya prevalensi merokok anak selama beberapa tahun terakhir. Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa prevalensi perokok anak umur di bawah 18 tahun telah turun dalam lima tahun terakhir, hingga menjadi 3,44 persen pada tahun 2022, dari angka 3,87 persen pada tahun 2019. Oleh karenanya, menurut Benny, PP 109/2012 saat ini tidak mendesak untuk direvisi.

“Sebaiknya pemerintah melakukan evaluasi komprehensif dengan indikator yang akurat baik di tingkat nasional maupun daerah, sebelum memutuskan untuk melakukan revisi PP 109/2012. Indikator dan justifikasi revisi regulasi yang saat ini didorong oleh Kementerian Kesehatan perlu ditinjau ulang,” ungkap Benny.

Jika dipaksakan maka dampaknya terhadap pertumbuhan IHT bakal makin negatif.

 


Industri Tertekan

Ilustrasi tembakau. Foto: (Ade Nasihudin/Liputan6.com).

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Tauhid, menjelaskan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, IHT sudah tertekan. Terbukti dengan harga jual rokok yang makin mahal dan telah memangkas konsumsi dalam beberapa tahun terakhir.

“Peran industri pengolahan tembakau dalam perekonomian semakin turun dari 0,85% (Q1-2018) menjadi 0,67 persen (Q4-2022). Pemerintah perlu mempertimbangkan dampak dan efektivitasnya bagi IHT, termasuk penerimaan tenaga kerja, dan petani dalam mengambil kebijakan revisi PP 109/2012,” kata Tauhid.

Tauhid sendiri merekomendasikan perlunya dirumus formula baku yang mengedepankan keseimbangan, yaitu dengan tetap memperhatikan dimensi pengendalian, ketenagakerjaan, penerimaan negara, dan petani tembakau.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya