Liputan6.com, Jakarta Harga minyak dunia turun USD 2 per barel ke level terendah dalam dua minggu pada perdagangan Rabu. Penurunan harga minyak ini karena investor menjadi lebih khawatir bahwa data ekonomi baru-baru ini akan berarti kenaikan suku bunga yang lebih agresif oleh bank sentral, menekan pertumbuhan ekonomi dan permintaan bahan bakar.
Dikutip dari CNBC, Kamis (23/2/2023), harga minyak mentah berjangka Brent anjlok USD 2,45 atau 3 persen ke level USD 80,60 per barel. Sedangkan harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) turun USD 2,41 atau 3 persen menjadi USD 74,05 per barel.
Advertisement
Risalah dari pertemuan Federal Reserve AS terbaru menunjukkan mayoritas pejabat Fed setuju bahwa risiko inflasi tinggi tetap menjadi faktor kunci yang membentuk kebijakan moneter dan menjamin kelanjutan kenaikan suku bunga sampai terkendali.
“Sementara data ekonomi AS yang lebih baik berarti permintaan minyak yang lebih baik, kekhawatirannya adalah bahwa hal ini memaksa Fed untuk mengetatkan kebijakan moneter untuk mengendalikan inflasi,” kata Analis UBS Giovanni Staunovo.
“Ini juga mendukung dolar AS, yang tidak membantu minyak," lanjut dia.
Kurs Dolar
Kurs dolar AS naik untuk sesi kedua berturut-turut, membuat minyak berdenominasi greenback lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya.
Namun, laporan ekonomi AS lainnya menunjukkan beberapa tanda yang meresahkan bagi konsumen minyak terbesar dunia itu. Penjualan rumah yang ada turun di bulan Januari ke level terendah sejak Oktober 2010.
Stok Minyak Tumbuh
Stok minyak mentah AS telah tumbuh setiap minggu selama sekitar dua bulan, dan diperkirakan dalam jajak pendapat Reuters telah meningkat 2,1 juta barel pekan lalu.
Permintaan minyak mentah secara musiman juga lebih rendah dengan kilang-kilang utama AS sedang dalam musim pemeliharaan, kata analis Price Group Phil Flynn.
Sekitar 1,44 juta barel per hari kapasitas penyulingan AS diperkirakan akan offline pada pekan yang berakhir 3 Maret, menurut perusahaan riset energi IIR.
Badai salju besar-besaran di Dataran Utara AS dan Upper Midwest juga telah memukul permintaan bahan bakar, dengan 3.500 penerbangan ditunda atau dibatalkan di seluruh negeri sejauh ini, menurut FlightAware.com. Bensin berjangka AS turun hampir 4 persen ke level terendah dalam dua minggu.
Advertisement
Sri Mulyani Was-Was Harga Minyak dan CPO Anjlok, Pendapatan Negara Terancam?
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mewaspadai pelemahan harga komoditas yang kerap jadi andalan pemerintah dalam meraup pendapatan negara. Menurutnya, itu sangat mempengaruhi perekonomian Indonesia maupun APBN.
"Kita lihat adanya tren penurunan, ini karena memang perang yang sudah 1 tahun menimbulkan respons mengenai mitigasi dari harga komoditas, namun ketidakpastiannya masih tinggi," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita, Rabu (22/2/2023).
Sebagai contoh, harga gas yang menurun tajam dari masa puncaknya di USD 7,53 per MMBTU, kini hanya USD 2,43 per MMBTU. Lalu batubara yang pernah mencapai USD 438, sekarang hanya sekitar separuhnya, USD 217,7 per metrik ton.
Sri Mulyani juga menyoroti harga minyak mentah berjangka Brent yang saat ini dipatok USD 84 per barel. "Ini juga terus mengalami pergerakan yang cukup dinamis. Ini karena faktor perang maupun adanya faktor mengenai concern climate change," ungkapnya.
Sementara harga minyak sawit mentah alias crude palm oil atau harga CPO yang kerap memberi cuan besar pada negara bahkan sempat drop di angka USD 720 per ton, meskipin sekarang sudah tembus USD 900 per ton lagi.
"Tapi nilai harga ini jauh lebih rendah dibandingkan masa puncaknya, yang semua itu terjadi di pertengahan tahun 2022, yaitu USD 1.779," imbuh Sri Mulyani.
Harga Komoditas
Di sisi lain, Sri Mulyani juga memasang mata pada harga komoditas impor yang tak bisa lepas dari kebutuhan masyarakat Indonesia, yakni gandum, kedelai dan jagung yang masih tinggi.
Harga gandum dan jagung memang telah mengalami pelemahan, namun kedelai masih menunjukan adanya lonjakan harga.
"Kedelai masih mengalami kenaikan. Ini tentu untuk Indonesia, karena kita adalah pemakan dari tahu/tempe dan produk kedelai seperti kecap, ini masih di level tinggi USD 1.525 per bushels," terang Sri Mulyani.
"Jadi kalau kita lihat dari komoditas ini, sebagian pasti kita akan memproyeksikan pengaruhnya ke perekonomian dan APBN Kita yang mengalami penurunan, dan masih bertahan dalam situasi tinggi," sebutnya.
Advertisement