Liputan6.com, Jakarta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berpandangan pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan angka yang cukup baik dengan mencatatkan 5,31 persen di 2022. Angka ini bisa semakin baik dengan bergantinya status pandemi menjadi endemi.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar juga mengamini adanya peluang itu. Hal ini dilihat dari tingkat Purchasing Manager Index (PMI) Manufaktur yang menunjukkan angka ekspansif dan kinerja ekspor Indonesia yang masif positif.
Advertisement
"Terlebih lagi pemerintah telah menyampaikan secara resmi tanggap darurat pandemi akan dikonsultasikan dengan pihak WHO untuk kemudiannya bisa mengubah status dari pandemi jadi endemi pada minggu-minggu mendatang ini," kata Mahendra dalam Indonesia Financial System Stability Summit 2023, Kamis (23/2/2023).
Kendati begitu, dia melihat masih adanya tantangan di sektor jasa keuangan kedepannya meski status pandemi dicabut. Maka diperlukan sejumlah upaya untuk meredam risiko dari tantangan-tantangan yang ada.
Tren Kenaikan Suku Bunga
Mahendra memprediksi tren kenaikan suku bungan akan terus terjadi kedepannya. Disamping adanya kebijakan moneter dari bank sentral negara maju yang akan menahan tingkat bunga di posisi yang tinggi.
"Baik dari kacamata tingkat bunga di berbagai negara yang tinggi dan kebijakan moneter dari kebanyakan bank sentral negara maju yang akan tetapkan tingkat bunga tinggi dan mungkin saja pada periode yang lebih lama lagi daripada yang diperkirakan sebelumnya," urainya.
"Hal ini harus mamapu diantisipasi dengan baik. Dan pada saat ini kami di OJK, maupun bekerja sama sinergi kuat dengan pemerintah terutama Kemenkeu, BI, LPS senantiasa mencermati, memantau dan melakukan langkah untuk menjaga ketahanan dan juga stabilitas sektor dan sistem keuangan yang ada," sambungnya.
Tetap Positif
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar memandang kalau pertumbuhan ekonomi nasional masih tetap positif di 2023 ini. Termasuk capaian-capaian dari industri jasa keuangan yang jadi lingkup pengawasan OJK.
Mahendra melihat adanya peluang pertumbuhan di dalam negeri yang terjadi, padahal secara global perekonomian tengah mengalami goncangan. Beberapa prediksi pertumbuhan telah dikantonginya.
"Kredit perbankan diproyeksikan tumbuh 10-12 persen didukung oleh pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) sebesar 7-9 persen. Di pasar modal, nilai emisi ditargetkan sebesar Rp 200 triliun dan pada 1,5 bulan awal ini kondisi terakhir bahwa angka Rp 200 triliun tadi, dengan kecepatan yang dilakukan sampai 6 minggu awal 2023 ini nampaknya akan dapat di capai," ungkapnya dalam Indonesia Financial System Stability Summit 2023, Kamis (23/2/2023).
Advertisement
Mobilitas Masyarakat
Sementara itu, dia membidik di sektor Industri Keuangan Non Bank (IKNB), piutang pembiayaan perusahaan pembiayaan tumbuh 13-15 persen. Ini didukung dengan mobilitas masyarakat yang dirpediksi akan meningkat pasca turunnya status pandemi ke endemi.
Kemudian, pertumbuhan juga ditargetkan terjadi pada aset asuransi jiwa dan asuransi umum. Mengikuti tumbuh positif, aset dari dana pensiun (dapen) juga dibidik tumbuh impresif.
"Aset asuransi jiwa dan asuransi umum diperkirakan tumbuh 5-7 persen, tentu hal ini dapat dilakukan dengan program reformais yang kuat yang dilakukan untuk industri asuransi. Aset dana pensiun diperkirakan tumbuh dengan tingkat yang sama antara 5-7 persen," urainya.
Perlu Dikejar
Kendati begitu, Mahendra menyadari kalau target-target tadi masih ada ketertinggalan dari negara-negara Asia Tenggara maupun Asia. Maka diperlukan upaya untuk mengejar capaian serupa yang sudah didapat oleh negara-negara tetangga Indonesia.
Sebut saja, jika dilihat dari porsi kontribusi sektor keuangan terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang masih cukup tendah. Baik dalam konteks kredit dalam negeri, kapitalisasi pasar saham, outstanding obligasi sukuk, penetrasi asuransi dan penetrasi aset dana pensiun terhadal PDB.
"Serta masih rendahnya jumlah investor maupun tingkat literasi dan inklusi keuangan di Indonesia," kata dia.
"Ini jadi jawaban dari apa yang disebut dengan middle income trap country yang menghambat pertumbuhan suatu negara menuju negara maju dan ini hrs kita atasi sehingga kita bisa mengelak dari jebakan yang merugikan tadi," sambung Mahendra.
Advertisement