Liputan6.com, Jakarta Skema power wheeling berpotensi menambah beban APBN yang merugikan negara dan di sisi lain juga berpotensi merugikan rakyat sebagai konsumen listrik.
Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Fahmy Radhi menyambut keputusan pemerintah yang akhirnya mencabut skema power wheeling dari Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT).
Advertisement
"Penerapan power wheeling berpotensi menambah beban APBN yang merugikan negara," katanya dikutip dari Antara di Jakarta, Kamis (23/2/2023).
Menurut dia, memang penerapan power wheeling akan lebih menguntungkan bagi Produsen Listrik Swasta karena mereka akan dapat menjual langsung listrik yang dihasilkan kepada kosumen rumah tangga dan industri tanpa harus membangun jaringan transmisi dan distribusi sendiri.
Dengan mekanisme power wheeling, produsen listrik swasta dapat menggunakan jaringan milik PLN secara open sources dengan membayar sejumlah fee.
Namun, lanjut Fahmy, power wheeling akan menggerus permintaan pelanggan organik PLN hingga 30 persen dan pelanggan non-organik hingga 50 persen. Penurunan jumlah pelanggan PLN itu, selain dapat memperbesar kelebihan pasokan PLN, juga menaikkan harga pokok penyediaan (HPP) listrik.
Sedangkan pernyataan bahwa power wheeling akan tarik investasi listrik EBT, Fahmy menilai hal tersebut belum terbukti benar. Data justru membuktikan bahwa tanpa power wheeling ternyata antusiasme investor pembangkit listrik EBT terus mengalir dan meningkat secara signifikan, meliputi PLTS, PLT Bayu, PLTA Minihidro, PLTP, PLT Biomass.
Sejak 2015, lebih 300 pembangkit listrik beroperasi, yang menghasilkan 2.886 MW dan 88 pembangkit masa konstruksi yang akan menghasilkan 3.225 MW, dan 41 pembangkit sudah berkontrak yang akan menghasilkan 554 MW.
"Berdasarkan data itu, tidak perlu ada kekhawatiran dan keraguan lagi bagi DPR untuk segera mengesyahkan UU EBT, tanpa pasal power wheeling," tutup dia.
Pengamat: Dalih Transisi Energi Lewat Power Wheeling Tak Masuk Akal
Munculnya skema power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik membuka ruang liberalisasi sektor ketenagalistrikan nasional. Untuk itu, skema power wheeling harus dikawal agar tak masuk dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT).
Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development INDEF Abra Talattov menyebut pasal hantu itu dapat dibaca sebagai bentuk pengkhianatan terhadap mandat konstitusi dimana sektor ketenagalistrikan merupakan sektor strategis yang harus dikendalikan oleh negara.
"Saya kira dalih percepatan transisi energi melalui skema power wheeling sangat tidak masuk akal dan aroma liberalisasinya sangat menyengat," ujarnya, Kamis (26/1/2023).
Abra pun memaparkan tiga alasan mengapa publik perlu mencermati pasal-pasal siluman dalam RUU EBT tersebut (pasal 29 A, pasal 47 A, pasal 60 ayat 5).
Pertama, tidak ada urgensi sama sekali untuk menjadikan skema power wheeling sebagai pemanis atau sweetener dalam menstimulasi porsi pembangkit EBT.
Abra menjelaskan bahwa tanpa adanya gula-gula pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik, Pemerintah sebetulnya sudah menggelar karpet merah bagi swasta untuk memperluas bauran EBT sebagaimana yang dijaminkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.
Dalam RUPLT paling green itu, target tambahan pembangkit EBT mencapai 20,9 gigawatt (GW) dengan porsi swasta mencapai 56,3 persen atau setara dengan 11,8 GW.
"Artinya, dengan menjalankan RUPTL 2021-2030 secara konsisten saja, secara alamiah bauran pembangkit EBT hingga akhir 2030 akan mencapai 51,6 persen," tegasnya.
Advertisement
Kompensasi Listrik
Kedua, pengusulan skema power wheeling kurang relevan, mengingat saat ini beban negara yang semakin berat menahan kompensasi listrik akibat kondisi oversupply listrik yang terus melonjak.
Abra mengatakan, saat ini kondisi sektor ketenagalistrikan kita sangat miris karena terjadi disparitas yang lebar antara supply dan demand listrik. Hingga akhir Tahun 2022 lalu saja oversupply menyentuh sekitar 7 GW.
"Situasi oversupply listrik tersebut berpotensi makin membengkak karena masih adanya penambahan pembangkit baru hingga 16,3 GW pada 2026 sebagai implikasi dari megaproyek 35 GW," katanya.
Ketiga, implikasi kerusakannya terhadap kesehatan keuangan negara. Di tengah kondisi oversupply listrik sebesar 1 GW saja, lanjut Abra, biaya yang harus dikeluarkan negara melalui PLN atas konsekuensi skema Take or Pay bisa mencapai Rp 3 triliun per GW.
"Secara sederhana kalau kita asumsikan rata-rata oversupply listrik sebesar 6-7 GW per tahun, maka potensi oversupply selama 2022-2030 mencapai 48GW - 56 GW atau setara dengan tambahan biaya Rp 144-168 triliun," pungkasnya.