Liputan6.com, Jakarta Kasus penganiayaan terhadap anak di bawah umur David Latumahina oleh Mario Dandy Satrio tengah ditangani pihak kepolisian.
Mario Dandy yang merupakan anak pejabat melakukan kekerasan diduga setelah kekasihnya yang berinisial A, melaporkan tindakan tidak menyenangkan yang Dilakukan David padanya. David sendiri adalah mantan dari perempuan usia 15 itu.
Advertisement
Tanpa memastikan kebenaran informasi yang disampaikan A, Mario Dandy tersulut emosi dan menyiksa David dengan brutal hingga koma.
Kasus ini mendapat perhatian dari berbagai pihak salah sataunya Kriminolog Haniva Hasna. Perempuan yang karib disapa Iva itu menjelaskan bahwa sebelum dijerat hukum, maka pelaku kejahatan perlu dilihat dari perannya.
“Sebelum kita ngomongin dijerat hukum, kita ngomongin tentang tindak kejahatan dengan aktor-aktornya. Karena ada beberapa tindak kejahatan yang tidak dilakukan sendiri,” ujar pemerhati anak dan keluarga itu kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara belum lama ini.
Penganiayaan yang dilakukan Mario Dandy menjadi salah satu contoh kejahatan yang tidak dilakukan sendiri.
“Nah kalau dilihat dari perannya, ada pelaku utama yakni si Dandy ini yang mengeksekusi korban dengan pukulan dan tendangan. Jadi si MDS ini disebut sebagai pelaku utama.”
“Yang kedua adalah temannya MDS, yang sekarang sudah ditetapkan juga sebagai tersangka, nah dia ini sebagai pembantu untuk melakukan penganiayaan,” ujar Iva.
Asisten dan Reinforcer
Peran teman Mario Dandy, Shane Lukas Rotua Pangondian Lumbantoruan dalam kasus ini jika dilihat dari istilah kriminologi adalah sebagai asisten.
“Dia berperan sebagai pembantu dan kalau dalam kriminologi disebut asisten. Jadi Dandy sebagai pelaku utama, temennya ini sebagai asisten karena dia sebetulnya enggak ada masalah apapun jadi perannya dia hanyalah membantu,” kata Iva.
Selain Shane Lukas, kasus ini juga menyeret nama A. Menurut Iva, dalam kasus ini A berperan sebagai reinforcer.
“Nah tugas reinforcer ini biasanya adalah melakukan penghasutan atau menceritakan sesuatu yang bisa membuat si pelaku ini menjadi naik pitam. Lalu ketika eksekusi terjadi, reinforcer ini bertugas untuk mendokumentasikan dengan cara memotret, memvideokan, lalu menertawakan bahkan ya untuk merayakan kemenangannya.”
Advertisement
Masuk Kategori Anak
Dalam kasus ini, reinforcer masih termasuk dalam usia anak yakni 15 tahun.
“Lalu bagaimana? Jangan khawatir, kita punya undang-undang yang mengatur hal ini. Jadi jangan mentang-mentang masih anak-anak lalu dibebaskan. Karena korbannya pun masih kategori anak, keadilan harus tetap ditegakkan.”
“Kalau saat anak-anak saja sudah bisa melakukan kejahatan, lalu dilakukan pembiaran karena masih anak-anak, bagaimana nanti kalau sudah menginjak usia dewasa, kejahatan apa lagi yang bisa dia perbuat.”
Iva juga mengatakan, banyak masyarakat yang menormalisasi kenakalan remaja, tapi kasus ini bukan kenakalan remaja biasa.
“Dia (A) sudah menjadi ‘kompor’ yang menyebabkan seseorang melakukan tindak kejahatan, bisa jadi otaknya adalah dia.”
Jika Dinormalisasi
Terlepas dari latar belakang pengasuhan, psikologis, lingkungan yang membentuk, peer group yang memengaruhi, serta media yang ditonton A, perilakunya tetap salah.
Kejahatan yang dilakukan dapat membuat seseorang dalam bahaya bahkan bisa kehilangan nyawa. Dan jika masyarakat menormalisasi hal ini, maka dampaknya tidak akan baik.
“Kalau respons masyarakat menormalisasi karena alasan masih anak-anak, ya kita harus rela menunggu beberapa tahun lagi. Pasti akan ada kejahatan-kejahatan yang lebih banyak dilakukan oleh anak-anak karena mereka merasa terbebas dari hukuman hanya karena usia,” pungkas Iva.
Advertisement