Liputan6.com, Yogyakarta - Erupsi Gunung Agung membuat UGM dan peneliti dari Mount Fuji Research Institute, Jepang bekerja sama di bidang mitigasi bencana. Salah satunya dengan sosialisasi Pencegahan dan Kesiapsiagaan Bencana Gunung Agung di Kantor Desa Besakih, Karangasem, Provinsi Bali, pada 11 Februari lalu yang bagian dari kegiatan dalam Proyek Astungkara Giri Agung Aman (AGAA).
Tim Ahli Geofisika sekaligus Dosen di Fakultas MIPA UGM Wiwit Suryanto mengatakan berdasarkan pengalaman erupsi di tahun 2017 lalu, akhirnya memilih Gunung Agung sebagai salah satu bagian dari proyek ini karena kerugian materiil dan juga pariwisata terdampak akibat erupsi gunung Agung di Bali tersebut.
Menurutnya, Proyek AGAA ini mendapatkan dana dari Japan International Cooperation Agency (JICA) dalam skema proyek akar rumput (grass root project) yang akan berlangsung hingga awal 2025
"Yang ditekankan adalah pentingnya kesiapsiagaan bencana erupsi gunung api ditanamkan sejak dini untuk siswa Sekolah Dasar dengan Pendidikan kebencanaan gunung api dengan pendekatan sains dan teknologi," katanya, Rabu 15 Februari 2023.
Baca Juga
Advertisement
Wiwit mengatakan mitigasi bencana dengan melibatkan Mount Fuji Research Institute di Provinsi Yamanashi dan LSM NPO Volcano di Tokyo dilakukan selama 2 tahun ke depan. Kegiatan mitigasi ini juga akan melibatkan Fakultas Pariwisata di Udayana sebagai partner kelangsungan kegiatan, melanjutkan edukasi setelah project ini berakhir.
"Project selama 3 tahun sebesar 54 Juta Yen nantinya digunakan untuk mengirim stake holder dan guru-guru di Bali untuk belajar mitigasi bencana gunungapi ke Jepang," jelasnya.
Wiwit menjelaskan kondisi di Jepang, pemerintahnya sudah memasukkan kurikulum kebencanaan di kurikulum sekolah, dari tingkat dasar, menengah hingga tingkat atas. Bahkan berbagai pihak terkait sudah terhubung dengan SOP yang jelas dan menjalankan dengan konsisten sehingga setiap warga masyarakat sudah bersiap untuk menghadapi bencana.
"Tidak hanya itu, buku saku bencana tersedia dan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat."
Menurutnya perbedaan terlihat dalam upaya mitigasi bencana kegunungapian di Indonesia yang umumnya bermata pencaharian sebagai Petani dan Peternak. Sehingga ada yang berbeda dengan di Jepang pada saat terjadi erupsi, yaitu tidak hanya evakuasi masyarakat tapi juga hewan ternak dan hewan piaraan.
”Jika tidak, maka pada saat kritis, masyarakat cenderung untuk Kembali ke rumah yang berada di zona bahaya untuk memberi makan hewan ternak, sehingga berpotensi menjadi korban karena erupsi gunung api,” paparnya.
Kegiatan mitigasi bencana dari pemerintah Jepang ini, menurut Wiwit, sudah pernah dilakukan di area Gunung Merapi karena merupakan salah satu gunung api paling aktif di Indonesia dan ada kerja sama sister province antara DIY dan Yamanashi dengan kesamaan di Provinsi Yamanashi terdapat Gunung Fuji yang terkenal di Jepang.
"Kegiatan ini menghasilkan rumusan kegiatan mitigasi kebencanaan yang harapannya dapat masuk di kurikulum mata pelajaran IPA di sekolah dasar sehingga keberlanjutan dari program edukasi ini dapat diperluas ke gunung api lain di seluruh Indonesia," tegasnya.
Masyarakat sekitar gunung api di Indonesia memiliki kearifan lokal dalam melakukan mitigasi bencana yaitu dengan melihat tanda-tanda alam. Namun, dalam kegiatan ini melalui pendekatan edukasi dari sisi sains dan teknologi. Hal ini diharapkan dapat memperkuat pemahaman masyarakat, terutama meyakinkan masyarakat bahwa teknologi sensor yang berkembang saat ini sudah dapat digunakan untuk mendeteksi aktivitas gunung api.
"Jadi sensor yang jaman dahulu dipercayakan kepada binatang atau tokoh yang memiliki ketajaman batin yang kuat, pada masa modern ini dapat dibantu dengan menggunakan sensor-sensor canggih seperti seismometer untuk deteksi getaran maupun GPS untuk deteksi pergerakan tanah akibat naiknya magma dari dalam gunung api," ujarnya.