Liputan6.com, Jakarta Virus SARS-CoV-2 masih belum henti-hentinya bermutasi. Variannya yang terbaru datang dari keluarga Omicron yakni subvarian CH.1.1 atau yang lebih dikenal dengan sebutan Orthrus.
Data milik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mencatat bahwa pasien yang terinfeksi dengan varian Orthrus di Indonesia mencapai 53 orang per Kamis, 23 Februari 2023 lalu.
Advertisement
Subvarian Orthrus sendiri diketahui mempunyai kemampuan menular dengan cepat layaknya Omicron lain. Lantas, mengapa subvarian yang satu ini tidak lagi menjadi biang kerok kenaikan kasus di Indonesia?
Menurut Epidemiolog sekaligus Peneliti Keamanan dan Kesehatan Global Griffith University Australia, Dicky Budiman, kondisi terkait pandemi COVID-19 saat ini memang sudah jauh membaik. Baik secara global maupun nasional.
Hal tersebutlah yang dianggap berkontribusi pada melandainya kasus COVID-19, meskipun ada varian-varian baru yang bermunculan.
"Kondisi pandemi COVID-19 sekarang memang sudah jauh lebih baik. Baik global, nasional, bahkan lokal dengan modal imunitas yang terutama ditimbulkan dari vaksinasi. Khususnya (vaksin) booster karena vaksin efektif mencegah keparahan," ujar Dicky pada Health Liputan6.com ditulis Selasa, (28/2/2023).
Dicky menjelaskan, berkat modal imunitas masyarakat yang sudah terbentuk itu jugalah, gejala COVID-19 yang nampak akan ringan-ringan saja. Namun, risiko long COVID-19 tentu masih menghantui.
"Karena modal imunitas sudah baik, yang terlihat itu adalah gejala-gejala ringan. Tapi kemampuannya dalam menyebabkan long COVID-19 menjadi lebih besar kalau orang itu terinfeksi berulang. Ini yang harus disadari," kata Dicky.
Menyikapi Munculnya Varian Orthrus
Cara menyikapi masing-masing varian baru COVID-19 sendiri, termasuk Orthrus pun umumnya sama saja. Hal ini dikarenakan menurut Dicky, karakter virusnya mirip, sama-sama bisa menginfeksi dengan mudahnya.
"Mau apapun variannya sama. Saat ini 100 persen varian yang bersirkulasi di dunia adalah Omicron dengan turunannya yang hampir seribu. Nah, semua subvarian Omicron itu memiliki kemampuan menginfeksi maupun reinfeksi yang jauh lebih hebat dari varian sebelumnya," kata Dicky.
Namun, Dicky turut mengingatkan bahwa vaksin COVID-19 hingga kini tak lepas dari kelemahannya. Kelemahan itu berkaitan dengan kemampuannya dalam mencegah penularan di masyarakat, maupun mencegah reinfeksi.
"Vaksin juga masih punya kelemahan. Dua kelemahan utama vaksin COVID-19 yang ada saat ini adalah (pertama) dia belum bisa signifikan efektif mencegah reinfeksi. Jadi orang yang divaksin atau dikombinasi dengan pernah terinfeksi, tetap masih bisa terinfeksi (lagi)," kata Dicky.
Advertisement
Herd Immunity Masih Sulit Terbentuk
Lebih lanjut Dicky mengungkapkan bahwa vaksin COVID-19 sendiri belum signifikan mencegah penularan secara garis besar di masyarakat. Itulah mengapa menurutnya, herd immunity sebenarnya masih sulit terbentuk.
"Kedua, vaksin belum bisa signifikan efektif mencegah penularan. Itulah sebabnya herd immunity itu masih jauh, karena syarat herd immunity adalah adanya vaksin atau kekebalan yang sifatnya menetap atau setidaknya jangka panjang," ujar Dicky.
Terlebih lagi, setelah fase akut COVID-19 sudah terlewati seperti saat ini, bukan berarti dunia akan bebas begitu saja. Pasalnya, dunia akan memasuki babak baru yakni fase kronik.
"Meskipun ini adalah masa sudah menuju keluar dari fase akut pandemi, kita akan masuk kepada fase kronik. Nah, bicara masa transisi ini enggak pendek. Enggak dalam satu bulan langsung masuk ke kronik, langsung endemik. Ini bisa tahunan dan periode transisi ini dinamis," kata Dicky.
Risiko Munculnya Gelombang Baru, Masih Adakah?
Sedangkan dalam hal risiko munculnya gelombang baru, menurut Dicky, pada masa transisi korban masih mungkin bermunculan. Bahkan, bukan tak mungkin akan ada gelombang baru COVID-19 kedepannya.
"Masih bisa ada gelombang-gelombang yang tetap bisa memakan korban, terutama kelompok rawan di masyarakat," kata Dicky.
Dicky mengungkapkan bahwa berdasarkan riset terbaru, posisi karakter dan tingkat keparahan COVID-19 berada antara virus HIV dan virus flu. Sederhananya, COVID-19 dianggap lebih parah dari flu, dan lebih ringan dari HIV.
"Jadi dia (COVID-19) lebih parah dari flu, tapi sedikit lebih ringan dari HIV yang antara lain ditandai dampak seriusnya muncul di fase kronik itu. Mungkin dua, tiga, lima tahun setelah dia terinfeksi berulang (COVID-19 baru muncul dampaknya pada kesehatan)," ujar Dicky.
"Sama seperti HIV, itu satu dua tahun dia enggak apa-apa. Nah ini yang bahaya. Itulah yang dibawa COVID-19 saat ini," tambahnya.
Advertisement